» Paradigma baru pembangunan itu sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta lingkungan.

» Indonesia perlu menyesuaikan dengan komitmen global untuk mengurangi tingkat emisi karbon.

JAKARTA - Paradigma baru pembangunan nasional harus sejalan dengan komitmen global untuk mengurangi tingkat emisi karbon sesuai Kesepakatan Paris. Dalam menjalankan pembangunan ekonomi yang rendah karbon diperlukan dukungan lintas sektoral.

Anggota Commissioner Low Carbon Development Indonesia (LCDI), Dyah Roro Esti, dalam diskusi daring bertajuk "Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) 2021" mengatakan pembangunan ekonomi rendah karbon selain sejalan dengan komitmen pengurangan emisi karbon global, juga akan mempercepat pemulihan ekonomi nasional dari dampak pandemi Covid-19.

Dyah, yang juga sebagai Anggota Komisi VII DPR RI, mengatakan paradigma baru pembangunan itu sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta lingkungan.

"Selain mampu mengurangi produksi gas rumah kaca sebanyak 43 persen atau lebih tinggi dari target Paris Agreement 23 persen, low carbon development juga berpeluang menciptakan 15 juta lapangan pekerjaan baru, yang akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia," kata Dyah.

Hal itu yang mendorong DPR mendukung percepatan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) lewat pembahasan rancangan undang-undang EBT yang akan jadi kerangka hukum dan langkah konkret dukungan politis untuk mendorong transisi energi di Indonesia.

Dukungan parlemen juga, jelasnya, terlihat pada pembahasan pajak karbon yang kini tengah dibahas di Komisi XI DPR dan segera diadakan pembahasan lintas komisi dan kementerian.

"Upaya yang dilakukan ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerja sama dan kolaborasi lintas sektoral yang baik. Setiap lembaga dan kementerian memiliki peran dalam melanggengkan pembangunan rendah karbon di Indonesia," Dyah.

Ia pun mengajak seluruh pihak untuk bersama menyatukan kekuatan dalam upaya menekan tingginya produksi karbon di Indonesia.

Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam kesempatan yang sama mengatakan pemerintah sedang menggodok berbagai kebijakan untuk mendorong pembangunan rendah karbon. Salah satunya dengan mengalokasikan anggaran berkisar 23,45-34,52 triliun rupiah atau 24 persen dari total anggaran yang dibutuhkan.

LCDI atau pembangunan rendah karbon Indonesia merupakan platform baru pembangunan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan beremisi gas rumah kaca (GRK) rendah dan meminimalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA).

LCDI bertujuan mendukung iklim investasi hijau, memperkuat integrasi lintas sektor dalam pengambilan keputusan,dan menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam pembangunan rendah karbon.

Bappenas selaku sistem integrator dan think tank organization, menyusun LCDI melalui pendekatan holistic, integrative, thematic, dan spatial (HITS).

Belum Sinkron

Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, menegaskan masih banyak program yang belum sinkron di lintas kementerian/lembaga dalam upaya menekan emisi karbon.

"Hal yang belum sinkron terkait penggunaan batu bara sebagai energi primer di tengah upaya untuk penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) dan listrik oversupply serta rencana pajak karbon," kata Mamit.

Untuk menekan emisi, harus ada dukungan dan kerja sama dengan lintas sektor, bukan menjadi tanggung jawab hanya oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saja atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, tetapi juga sektor lain, seperti keuangan, perhubungan, maupun BUMN.

"Melalui kajian dan dukungan semua sektor akan didapatkan formulasi yang tepat dan terarah mengenai arah kebijakan net zero emision," kata Mamit.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga, Imron Mawardi, mengatakan Indonesia perlu menyesuaikan dengan komitmen global untuk mengurangi tingkat emisi karbon.

"Pemanfaatan energi bersih jelas menguntungkan dan bisa membantu kita menjalani pemulihan krisis pandemi ini. Keuntungan dari penerapan energi terbarukan tidak membutuhkan waktu lama seperti yang dibayangkan selama ini," kata Imron.

Baca Juga: