Oleh: Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng

Terjadinya pandemi Covid 19 telah mempengaruhi kehidupan masyarakat banyak beserta sistem sosial-ekonomi dan politik suatu negara termasuk ketersediaan pangannya. Apalagi setelah badan pertanian dan pangan perserikatan bangsa-bangsa (FAO) memperingkatkan bahwa adanya pandemi Covid-19 ini juga dapat memicu krisis pangan dunia. Negara-negara penghasil pangan berpotensi tidak lagi bersedia menjual produksi pangannya sehingga akan menyebabkan kesulitan pangan bagi negara pengimpor pangan termasuk Indonesia. Berkenaan dengan itu maka pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis yaitu memulai pembangunan Lumbung Pangan Nasional (LPN).

Pembangunan LPN saat ini berada luas dalam pemberitaaan media masa yang banyak memfokuskan pada tentang niat pemerintah untuk membangun food estate atau LPN seluas 164.588 hektare (ha) terletak di dua kabupaten, Kapuas dan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Pembangunan Lumbung Pangan di Lahan Rawa atau Gambut

Lahah rawa tersebut merupakan bagian daerah irigasi rawa dari total yang ada di seluruh Indonesia mencakup seluas 1,64 juta ha. Seperti diketahui lokasi LPN ini merupakan bagian dari lahan Ex Pembangunan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare yang dibangun pada tahun 1995 dan gagal total pada tahun 1998. Kegiatan proyek PLG tersebut memberikan dampak sangat besar pada kehidupan sosial-ekonomi-lingkungan di wilayah tersebut (PSPK UGM, 1998,1999). Oleh sebab itu proyek ini tidak berlanjut, dan meninggalkan banyak dampak kerugian yang tampak sampai saat ini. Kegagalan tersebut menjadi catatan sejarah penting pada pembelajaran kesalahan besar agar tidak lagi terulang .

Sebenarnya masyarakat Banjar dan para pendatang suku Bugis masa lalu telah mampu mengembangkan teknologi irigasi pasang surut secara sepadan dan berkelanjutan dengan membangun tata air sistem pertanian dengan memakai alat sederhana seperti Sundak yaitu, serpihan papan ulin untuk menggali handil dan anjir serta tajak untuk pengolahan tanah. Kegiatan masyarakat dalam pembangunan sistem pertanian rawa pasang surut menjadi lebih ramai dengan pembangunan tiga anjir (saluran penghubung antar sungai besar) yaitu Anjir Tamban dan Anjir Serapat menghubungkan sungai Barito dengan Sungai Kapuas dan Anjir Kelampan dibangun pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.

Pengelolaan irigasi rawa pasang surut di lahan rawa atau gambut mempunyai teknologi yang khas yaitu proses pasang yang memberikan air segar ke dalam sistem pengairan dan proses surut sebagai drainasi untuk pencucian zat racun pirit dan masam di dalam tanah dimana semuanya dilakukan secara sangat seksama. Lahan harus dijaga agar tetap basah melalui sekat-sekat kanal atau tabat dengan memperhatikan Kawasan Hidrologi Rawa dan Gambut (KHG).

Masyarakat setempat sudah sangat paham betul terhadap karaktersistik lahan yang sangat heterogen dan tidak dapat dirampatkan (generalisasi). Kesalahan pembukaan lahan satu juta hektar yang dilakukan secara besar-besar dengan membangun saluran primer pengatus tanpa pintu-pintu menyebabkan kerusakan lahan gambut secara masif dan fatal, dimana terjadinya amblesan, kekeringan penyebab kebakaran besar pada musim kering, dan banjir besar pada musim hujan.

Sifat gambut tertentu apabila diatus secara besar besaran justru akan menyebabkan terjadinya peningkatan salinitas dan keasaman tanah sebagai penyebab racun untuk tanaman. Selain itu kerusakan fisikawi tanah juga akan terjadi dengan terbentuknya sifat gambut hidrofobik yang tak dapat balik (permanen) yang menimbulkan masalah gleisasi, kekahatan oksigen, dan sifat tanah yang mentah (Notohadiprawiro, 1989).

Kesalahan-kesalahan ini juga diulangi pada saat pembangunan hutan industri dan perkebunan kelapa sawit sejak masa orde baru sampai pemerintahan SBY.

Lima Pilar Pengelolaan Sumber Daya Air

Munculnya kebakaran hebat di Kawasan eks PLG kabupaten Pulang Pisau pada tahun 2015 akibat kekeringan merupakan suatu bukti sesalahan upaya implementasi kebijakan tersebut. Secara teoritis dengan memakai pendekatan sistem pengelolaan sumberdaya air, pembangunan LPN harus memperhatikan atau bersendikan lima pilar yaitu : (i) ketersediaan air dan lahan, (ii) infrastuktur, (iii) tata kelola, (iv) institusi, dan (v) sumberdaya manusia (SDM).

Apabila dianalisis secara rinci dengan memakai pendekatan sistem tersebut maka pelaksanaan PLG pada masa lalu itu memperlihatkan kesalahan menyeluruh dalam pelaksanaan kelima pilar pengelolaan air tersebut. Saat ini sudah tersedia seperangkat teknologi terkini mulai dari hal paling sederhana penggunaan pintu-pintu air berbahan resin sampai pada teknologi model matemaktika berbasis big data dan cloud serta pendapat-pendapat para pakar. Maka jangan sampai pelaksanaan LPN ini hanya berbasis pada pembangunan infrastruktur dan mengabaikan pilar-pilar penting lainnya.

Menurut Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Azwar Maas, peringatan sangat penting dimana bahwa sebagian lahan LPN merupakan lahan mineral dengan kandungan pirit yang tinggi di sekitar 5 km dari sungai perlu untuk diperhatikan secara seksama. Pendapat Maas ini perlu menjadi dasar pembangunan sistem tata air dengan tata kelola yang khas untuk memperoleh produksi hasil pangan yang tinggi. Juga agar adanya Institusi dan sumberdaya manusia yang andal dengan kompetensi tinggi akan dapat mencegah pengulangan kesalahan masa lalu. Sehingga para pelaku harus bisa memahami terhadap peran dan risiko yang dihadapinya di lapangan. Pada umumnya para pihak hanya bersedia berbagi peran tetapi tidak mau berbagi risiko dan tanggung jawab dan hanya meninggalkan risiko tersebut sepenuhnya pada masyarakat setempat serta pemerintah lokal.

Selain itu, sebenarnya pemerintah dalam upaya pembangunan LPN ini mempunyai modal pengetahuan tasit cukup tinggi dalam pengelolan pengeloaan sistem irigasi pasang surut karena pengelolaan sistem irigasi pasang surut ini sudah mempunyai sejarah yang yang cukup panjang. Oleh sebab itu berbagi informasi pengetahuan antar pelaku perlu dilakukan sehingga mudah diubah menjadi pengetahuan eksplisit dan praktis efektif.

Meningkatkan Produksi Pangan Nasional dengan Operasi dan Perawatan (OP) Irigasi secara Disiplin dan Sepandan.

Selain pembangunan LPN, sebenarnya pemerintah mempunyai peluang dan kapasitas sangat besar lain untuk meningkatkan persediaan pangan nasional yaitu dengan melaksanaan Operasi dan Pemeliharaan (OP) irigasi secara disiplin dan sepadan.

Pelaksanaan OP irigasi sepadan

Seperti yang telah dikatakan bahwa secara teoritis pengelolaan irigasi dilaksanakan berdasarkan lima pilar irigasi.

Dari penilaian cepat kinerja pengelolaan 17 daerah irigasi (DI) strategis nasional untuk persiapan modernisasi irigasi di seluruh Indonesia diperoleh hasil bahwa kinerja tata kelola, institusi, dan SDM menjadi titik kritis dari pengeloaan irigasi di wilayah tersebut (PUPR, 2014-2018). Adapun sumber penyebabnya adalah kurang perhatian dan upaya pemerintah untuk melaksanakan Peraturan Menteri Pekerjaaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) No 12 tahun 2015 tentang Eksploitasi (Operasi) dan Pemeliharaan Irigasi.

Biaya Operasi dan Pemeliharaan irigasi khusus untuk kewenangan Pemerintah Pusat dengan luas sekitar 2,3 juta ha, baru hanya terpenuhi sekitar 49 persen dari 80 persen Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP) atau kurang dari 51 persen dari kebutuhan yang sesungguhnya.

Sedangkan untuk yang berada pada kewenangan pemerintah daerah lebih parah lagi, bahkan hanya sekitar 30 persen dari total 435 daerah penerima Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2018, tidak menyediakan dana untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan irigasi. Keadaan ini menyebabkan percepatan terjadinya kerusakaan baik berat sampai ringan pada hampir seluruh daerah irigasi, baik kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dalam keadaan yang kurang sepadan. Pelaksanaan kegiatan operasi dan pemeliharaan irigasi merupakan kegiatan pelayanan pada masyarakat petani secara nyata dan strategis.

Selain itu perhatian pemerintah terhadap status kepegawaian pelaksanan OP irigasi dari aras paling rendah, pekarya, Petugas Pintu Air (PPA), petugas operasi bendung, juru/mantri pengairan sampai pengamat masih sangat minim dan menyedihkan. Bahkan banyak di antara mereka berkarya tanpa status. Keinginan untuk mendapat status Aparatur Sipil Negara (ASN) apakah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) banyak yang belum terwujud.

Bahkan di satu Provinsi di Jawa, sruktur organisasi pengelolaan sumberdaya air jelas-jelas melanggar Permen PUPR No 12 tahun 2015. Struktur organisasi hanya mencakup kepala dinas, seksi-seksi, dan koordinator lapangan yang tugasnya mencakup tugas pekarya, PPA, juru, dan pengamat pengairan dengan bayaran rendah yaitu hanya 1,5 juta rupiah perbulan dengan kontrak selama 11 bulan kerja. Selama masa pandemi Covid-19 ini para petugas OP di lapangan masih tetap bekerja dengan semangat siaga 24 jam untuk tetap menjaga keberfungsian pelaksaaan pengelolaan irigasi di masa tanam kedua bahkan tanpa pengamanan kesehatan yang berarti. Jadi sebenarnya merekalah pejuang garda depan tercapainya ketahanan pangan Indonesia di samping juga petugas lapangan pertanian. Institusi pelaku irigasi baik Komisi Irigasi maupun institusi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di banyak daerah juga belum berfungsi secara maksimal. Terbatasnya dana untuk Komisi Irigasi dan pelatihan bagi pelaku sangat terbatas.

Pelaksanaan Tata Guna Air (PTGA) sebagai pelaksana pelatihan bagi P3A dan pelaku irigasi lainnya juga masih belum jelas.

Perlu diingat bahwa meskipun kontribusi irigasi terhadap usaha tani di Lahan Pertanian beririgasi adalah sebesar 16 persen (Fagi 1987) tetapi kedudukannya bersifat multlak dan tidak terpisahkan. Apabila ditarik ke aras sumber air dengan memperhitungkan efisiensi maka kemutlakannya berkisar 20- 25 persen dan itulah yang dilakukan dalam esensi penyediaan dan pengelolaan air oleh para petugas pengairan di lapangan. Tanpa adanya irigasi maka kegiatan pertanian akan berhenti. Perbaikan OP irigasi adalah kunci dan sangat berarti bagi keberhasilan peningkatan produksi Pangan Nasional dan akan dapat dirasakan, sehingga Indeks Pertanaman (IP) di Jawa yang menyumbang sekitar 45 persen produksi bisa dapat ditingkatkan lagi sampai lebih dari IP 200-225 persen dan di Luar Jawa diharapkan meningkat dari sekitar 180 persen menjadi 200 persen (Wardani dkk. 2019)

Kesimpulan

Keadaan lahan ex PLG memang perlu untuk rehabilitasi karena merupakan kesalahan sejarah pemerintah pusat. Namun apabila dilakukan secara besar-besaran juga perlu dipikirkan secara seksama dan secara mendalam baik dari sisi teknis, sosial politik, ekonomi dan lingkungan. Perlu diingat bahwa masa kerja pemerintahan Jokowi ini tersisa 4 tahun dimana masa kerja efektif tinggal 3-3,5 tahun. Maka untuk mampu berhasil menaikkan produksi pangan nasional secara signifikan diperlukan kerjasama holistik dan komprehensif terintegrasi oleh para pihak yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan tersebut yang sangat krusial dibutuhkan.

Keterbukaan informasi pada publik juga menjadi satu syarat berguna dalam pelaksanaan LPN ini.

Alternatif strategis atas perbaikan tata kelola irigasi melalui perbaikan proses kegiatan OP Irigasi, perbaikan kompetensi manusia pelaku, beserta kesejahteraan dan status para pelaku irigasi secara paralel, adalah juga sangat penting dan mutlak untuk dapat meningkatan secara besar produksi pangan di Indonesia. Sedangkan untuk biaya perbaikan manajerial OP Irigasi akan lebih jauh lebih rendah dari pada biaya untuk pembangunan lahan lahan baru.

Satu hal yang sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan dan direnungkan adalah jangan sampai bangsa kita ini hanya suka membangun tanpa memelihara. Build and neglect and rebuild terus menerus saja yang terjadi. Sedangkan pemeliharaan diabaikan dan ditelantarkan. Maka kebijakan presiden pada nasib petugas OP irigasi di lapangan amat sangat diharapkan dan akan terus ter-ingat.

Doa mereka yang senantiasa bertahan dari terik matahari, dinginnya malam, lebatnya hujan, terjangan banjir akan terus mengalir pada para pemimpin bangsa yang peduli kepada mereka berkarya disawah. Semoga.

Baca Juga: