Sistem apa pun yang digunakan harus menjawab problem ketidakadilan dan ketimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
JAKARTA - Pemerintah diminta menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai panduan utama dalam pembangunan nasional agar lebih terarah dan berkelanjutan. Direktur Pusat Studi Islam dan Demokrasi (PSID) Jakarta, Nazar el Mahfudzi, mengatakan GBHN bukan soal nostalgia, tetapi kebutuhan mendesak agar arah pembangunan jelas dan terukur. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Panjang (RPJMP) yang ada saat imi dinilai belum cukup mengikat kebijakan pemerintah dari satu periode ke periode lainnya.
GBHN akan memastikan pembangunan yang adil dan merata di seluruh Indonesia. Hal itu juga menyoroti ketimpangan pembangunan yang masih dirasakan oleh banyak daerah. "Kita tidak bisa terus membiarkan kue pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang.
GBHN harus menjadi alat yang memastikan pemerataan, baik dari infrastruktur hingga layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan," kata Nazar. Dia juga mengingatkan pemerintah agar dalam menyusun GBHN mengedepankan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik.
"Masyarakat harus terlibat dalam perumusan GBHN. Ini penting agar GBHN benar-benar mencerminkan aspirasi seluruh rakyat, bukan hanya agenda politik segelintir elite," katanya. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, mengatakan keberadaan konsep perencanaan pembangunan seperti GBHN menjadi sesuatu yang berharga bagi jaminan keberlangsungan dan keterkaitan perencanaan pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang.
"Dengan GBHN menjadi pedoman apa yang akan dicapai dalam jangka panjang, sehingga dalam jangka pendek dapat merencanakan tahapan dan strategi pencapaiannya," kata Suhartoko. Dalam jangka menengah pun akan menegvaluasi pencapaian, sehingga lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan jangka panjang yaitu mewaujudkan masyarakat adil dan makmur. Tidak sekadar mencapai pendapatan per kapita tinggi, tetapi pemerataan dan keadilan yang terjamin.
"Oleh karena itu, supaya rakyat bisa andil dalam pencapaiannya perlu diupayakan transparansi kebijakan pembangunan, fiskal, dan moneter," ungkap Suhartoko. Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan sejarah Indonesia telah dikembangkan beberapa model panduan atau haluan kebijakan pembangunan jangka panjang. Di era Orde Lama dikembangkan Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang memiliki fungsi sebagai panduan bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dari pusat sampai daerah. Pada masa Orde Baru dikembangkan GBHN secara fungsi sama sebagai pedoman pembangunan pemerintah pusat dan daerah.
Orde Reformasi, sejalan dengan amendemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002, GBHN dihapus dan diganti Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dengan diterbitkannya UU No 25 Tahun 2004 tentang SPPN. Perencanaan yang lebih desentralistik. Saat ini, bergulir wacana menghidupkan lagi GBHN/PNSB dengan dalih dianggap penting untuk mengembalikan koordinasi dan arah pembangunan nasional yang lebih terintegratif dan berkesinambungan.
"Apa pun sistemnya, jika mekanisme politik terlalu dominan dalam pengambilan kebijakan maka sistem itu tidak akan berfungsi dengan baik," tegas Badiul. Begitu juga rencana pemerataan pembangunan. Tanpa komitmen politik yang kuat dan pemerintah tak bisa lepas dari cengkeraman segelintir pihak maka kue ekonomi itu jangan harap merata atau dinikmati oleh masyarakat di daerah.
Efektivitas Sistem
Lebih lanjut, dia mengatakan pergantian dari PNSB ke GBHN ke SPPN bagian dari refleksi atas efektivitas sistem yang dibangun sebagai pedoman. Bahkan, pengaturan secara khusus melalui UU No 25/2004 secara tegas juga bicara tentang integrasi dari level desa, kabupaten/ kota, provinsi dan pusat.
Namun pada praktiknya, tidak berjalan efektif bukan karena sistemnya, tetapi karena komitmen pemerintah yang tidak serius. Hal yang terpenting adalah sistem apa pun yang digunakan harus menjawab problem ketidakadilan dan ketimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wakil Rektor Tiga, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan rencana mengembalikan GBHN dapat membuat pembangunan lebih terarah dan berkelanjutan. "Dengan GBHN, maka setiap rezim pemerintahan akan punya pedoman yang digunakan sebagai landasan kerja yang berkelanjutan sehingga tidak bergantung pada siapa presidennya," tuturnya.