JAKARTA - Pemerintah diimbau untuk mempertimbangkan dan mengevaluasi rencana meneruskan pembangunan tanggul pantai dan tanggul laut atau giant sea wall di Utara Pulau Jawa. Evaluasi itu penting karena rencana tersebut, terutama pembangunan tanggul raksasa di utara Jakarta berpotensi jadi langkah blunder.
Dari rencana melindungi Jakarta atas naiknya permukaan air laut malah menjadi kubangan akibat air dari selatan Jakarta terbendung karena tidak bisa mengalir ke laut. Guru Besar bidang Pemodelan Hidrodinamika dan Morfodinamika Pantai Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Suntoyo, mengatakan rencana pemerintah untuk membangun giant sea wall atau tanggul raksasa di Utara Jakarta tidak efektif untuk menanggulangi banjir, justru lebih banyak dampak negatifnya.
"Dari kaca mata orang awam saja ini sudah tidak masuk logikanya, apalagi dari sisi engineering dan keilmuan, akan semakin banyak yang harus dipertanyakan. Kita berbeda dengan Belanda yang kontur permukaan tanahnya lebih rendah dari laut, sedangkan kita lebih tinggi," kata Suntoyo.
Belanda, jelasnya, membangun tembok untuk membendung agar air laut tidak masuk, sementara yang kita harus lakukan justru sebaliknya mengalirkan air dengan lancar ke laut. "Kalau ada tanggul justru tertutup, sehingga membutuhkan banyak pompa yang sangat kuat untuk mengalirkannya, semakin tidak efektif. Untuk mengatasi banjir prinsip yang harus dijalankan adalah mengalirkan dengan cepat menggunakan sistem drainase yang baik dan catchment air yang memadai sehingga cepat mengalir ke laut.
Itu yang harus dibenahi dan kalau ingin lebih cepat ditambah pompanisasi," katanya. Kalau ada tanggul, justru menjadi sesuatu yang tidak alami, air terhalang, gerak manusia juga terbatas. Selain itu, biaya yang dibutuhkan sangat fantastis. Sebagai gambaran untuk membangun Jetty Dermaga sepanjang 200 meter saja membutuhkan biaya 40 miliar rupiah. Untuk membangun giant sea wall dengan panjang yang sama akan membutuhkan biaya 10 kali lipat.
Bisa dibayangkan berapa triliun yang harus dikeluarkan untuk giant sea wall yang berkilo-kilo meter panjangnya. Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (Kiara), Susan Herawati Romica, menegaskan rencana pembangunan giant sea wall sebagai solusi yang sama sekali tak menyelesaikan permasalah banjir di Jakarta. Kiara sejak dari awal menolak proyek tersebut karena mengancam masyarakat pesisir.
"Yang dibutuhkan itu langkah konkret. Apakah dengan giant sea wall nanti permasalahan banjir Jakarta akan tuntas, saya rasa tidak karena kita akan dihadapkan lagi pada bencana ekologis baru," tegas Susan. Pemerintah, papar Susan, harus menyadari bahwa Jakarta Utara/Teluk Jakarta itu pembuangan akhir dari 13 anak sungai di Jakarta yang apabila dibangun penghalangnya (giant sea wall) maka airnya justru akan kembali ke daratan dan Jakarta Utara, Teluk Jakarta justru menjadi kubangan baru.
Bukan hanya kubangan air, tetapi juga tempat akhir dari sampah sampai di Jakarta. Hingga kini, papar Susan, pihaknya belum mendengar argumentasi yang kuat dari pemerintah terkait proyek besar itu. Bahkan tidak pernah membuka isu ini dalam bentuk diskusi publik biar pemerintah bisa mendengar masukan dari aktor berbeda di lapangan.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta harus memperbaiki tata ruang. Jangan terus memberi izin untuk pembangunan mal dan apartemen yang menyedot banyak air tanah di daerah tersebut dan membuat tanah cepat ambles. "Memang masalah banjir bisa teratasi jika giant sea wall dibangun, sementara izin pelepasan lahan untuk pembangunan mal dan apartemen masih terus dikeluarkan, kan tidak?" tegas Susan dengan nada bertanya.
Sulit Kelola Pulau Reklamasi
Peneliti lingkungan Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan ada beberapa isu penting jika giant sea wall kembali dijalankan. Pertama dari sisi lingkungan, dampaknya cukup besar, baik terhadap ekosistem laut yang direklamasi ataupun ekosistem laut sumber material yang didapatkan.
"Setelah jadi pulau reklamasi juga tidak akan lepas dari masalah, mulai air tergenang yang menimbulkan bau, persoalan sampah dan limbah, karena tidak mudah mengelola pulau-pulau reklamasi," tegas Hafidz. Kedua, secara sosial, akan muncul masalah akses masyarakat pesisir terhadap laut, khususnya kalangan nelayan tradisional.
Ketiga, secara pembiayaan akan menyedot dana cukup besar yang tentunya hanya bisa berjalan jika dikerjakan oleh konsorsium komersial di mana reklamasi yang dilakukan untuk kepentingan bisnis dan privat yang dalam waktu 4-5 tahun ke depan kondisi pasar keuangan sedang tidak baik, sehingga sangat berisiko untuk menggagas proyek ambisius itu sekarang ini.
Solusi masalah Jakarta memang tidak mudah karena beban pembangunan yang berlebihan melahirkan penurunan permukaan tanah yang tidak bisa dicegah, belum lagi terjadinya potensi kenaikan ketinggian muka air laut. Untuk mengatasinya harus konsisten dengan strategi hulu ke hilir, mulai dari konservasi hulu, pengendalian penyerapan air tanah, dan revitalisasi ekosisten mangrove secara masif. "Semuanya perlu perencanaan tata ruang yang lebih matang yang melibatkan para ahli multidisiplin," pungkas Hafidz.