» Skenario net zero emissions 2045 dapat meningkatkan PDB RI 6 persen per tahun dan menciptakan 15,3 juta lapangan kerja.

» Perubahan iklim akan menyebabkan naiknya permukaan laut, sehingga orang bisa kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, dan kehidupan.

JAKARTA - Pemerintah dituntut punya kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk membangun perekonomian berbasis penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan meninggalkan energi kotor yang merusak lingkungan. Tuntutan tersebut seiring dengan makin kuatnya inisiatif global untuk mencegah ancaman perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global yang ditimbulkan oleh emisi karbon dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batu bara.

Selain untuk menyelamatkan lingkungan, penggunaan EBT juga akan memberi prospek yang lebih cerah pada Indonesia untuk meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.

Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti, dalam sebuah diskusi daring di Jakarta, Jumat (30/7), mengatakan berdasarkan Climate Risk Profile yang dirilis Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), risiko iklim di Indonesia menelan biaya 2,5 hingga 7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Pembangunan EBT menjadi solusi pertumbuhan ekonomi. Skenario net zero emissions 2045 dapat meningkatkan pertumbuhan PDB 6 persen per tahun dan menciptakan 15,3 juta lapangan kerja kajian Bappenas," kata Dyah.

Lebih lanjut, dia mengutip kajian Bank Dunia kalau utilisasi tenaga surya di Indonesia misalnya, berpotensi menghasilkan 300 hingga 515 ribu lapangan pekerjaan. Selain itu, tentu lebih membantu mencapai target bebas emisi seperti komitmen Indonesia kepada dunia internasional.

Saat ini, paparnya, lebih dari 130 negara di dunia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emissions pada 2050. Indonesia harus segera menentukan target tersebut, jangan seperti sekarang, tiap-tiap kementerian masih memiliki target berbeda-beda. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan misalnya pada 2060, Bappenas 2045-2070, dan PLN 2060. "Kita harus punya frame yang sama untuk target transisi energi," tegasnya.

Pada 2020 lalu, realisasi EBT di kisaran 11,2 persen dan 2021 diperkirakan sedikit naik di kisaran belasan. Sementara target yang ingin dicapai pada 2025 bauran energi harus mencapai 23 persen.

Masih minimnya realisasi tersebut, jelasnya, karena pemerintah terlena, seolah-olah energi fosil masih jadi tumpuan untuk mendukung perekonomian, padahal tuntutan global sudah mengarah ke EBT.

Lembaga-lembaga keuangan global bahkan sudah enggan memberi pembiayaan ke proyek-proyek yang berbasis energi kotor dan merusak lingkungan. Beberapa perusahaan global seperti Tesla, akhirnya berpaling membeli nikel produksi BHP di Australia, ketimbang nikel dari Indonesia karena dinilai tidak konsisten dalam mengembangkan EBT.

"Waktunya mendukung segala upaya merealisasikan target bauran EBT karena realisasi masih minim. Jangan sampai tidak bergerak dari zona nyaman," tegasnya.

Terancam Tenggelam

Sementara itu, Presiden AS, Joe Biden, dalam sambutannya di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, pekan lalu, saat berbicara mengenai perubahan iklim, menyebut Indonesia khususnya Jakarta, yang diperkirakan akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan akibat perubahan iklim.

"Departemen Pertahanan mengatakan ancaman terbesar yang dihadapi Amerika, perubahan iklim," kata Biden seperti dikutip dari whitehouse.gov, Jumat (30/7).

Perubahan iklim akan menyebabkan naiknya permukaan laut sehingga orang bisa kehilangan tempat tinggal, mata pencarian, dan kehidupan.

"Jika pada kenyataannya permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi, memperebutkan tanah yang subur," sebut Biden.

"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?" katanya.

Dia pun meminta warga AS bergabung bersama warga dunia untuk mencegah ancaman tersebut, termasuk kemungkinan bekerja sama dengan Russia dan Tiongkok.

Ancaman penurunan tanah dan naiknya air laut yang mengakibatkan banjir rob di Indonesia sebenarnya dipaparkan lembaga penelitian Deltares yang berbasis di Belanda. Dengan melakukan model elevasi global menggunakan data Light Detection and Ranging (LiDAR) mereka menunjukkan data yang signifikan.

"Di Indonesia, luas wilayah dengan ketinggian di bawah 2 meter di atas permukaan laut yang terdeteksi oleh LiDAR nyatanya 14 kali lipat lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya," sebut lembaga itu dikutip dari Channel News Asia (CNA).

Dalam laporan berjudul The Economics of Climate Change yang dirilis April lalu, perusahaan reasuransi global Swiss Re Institute (SRI) memperkirakan bahwa ekonomi dunia berisiko kehilangan 18 persen kue ekonominya. Ini akibat dampak perubahan iklim pada 2050 nanti.

Dalam laporan tersebut, SRI melakukan uji tekanan (stress test) terhadap ekonomi dunia jika perubahan iklim berjalan tak terbendung. Hasilnya, mereka menemukan bahwa isu perubahan iklim bakal memukul 48 negara, yang mewakili 90 persen ekonomi dunia.

Dalam kesempatan terpisah, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Salamuddin Daeng, menyayangkan pemerintah yang tidak fokus mengembangkan EBT, padahal pembangkit tersebut akan akan mempercepat tercapainya target bauran energi. Hal itu dinilainya sebagai kemunduran, karena Indonesia semakin sulit memulihkan image di publik dan internasional sebagai negara yang berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan.

"Makanya, kita dianggap kurang mendukung Perjanjian Perubahan Iklim COP 21 Paris," katanya.

Menurut Daeng, pemerintah harusnya mulai mengurangi pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batu bara agar tidak kehilangan pembiayaan dari lembaga keuangan internasional.

Begitu pula dengan sebagian listrik PLN yang dibeli dari swasta dengan bahan bakar batu bara. Sudah jelas, pembangkit tersebut menggunakan energi kotor, tapi PLN masih dipaksa membeli listrik pada mereka.

"Pembangkit batu bara milik swasta tidak pernah diobok-obok oleh pemerintah, sementara pembangkit EBT PLN malah dipreteli. Apakah karena sebagian besar pembangkit batu bara di Indonesia dimiliki bandar-bandar kelas kakap, oligarki papan atas di negeri ini," tukasnya. n ers/E-9

Baca Juga: