Oleh Desmon Silitonga

Perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi), khususnya ke Ibu Kota Jakarta pasca-Idul Fitri, telah menjadi sebuah fenomena tahunan. Ibu Kota Jakarta ibarat sebuah magnet yang menarik ribuan pendatang baru untuk hengkang dari daerah. Jakarta masih menyihir para pendatang, meski berbagai kisah pilu kehidupan sering terdengar.

Perpindahan ke Jakarta setiap tahun terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 1970, jumlah pendatang ke Jakarta sekitar 1,8 juta. Namun, tahun 2010 hampir empat kali lipat menjadi 4,07 juta.

Tahun 2015, menurun menjadi 3,6 juta. Meski begitu, penurunan tidak disebabkan terhentinya aliran pendatang. Sebaliknya, kemajuan Jakarta telah memicu berkembangnya kota-kota satelit, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek).

Kota-kota inilah menjadi destinasi pendatang baru untuk tinggal. Namun, mereka tetap mencari pekerjaan dan mengadu nasib di Jakarta. Dengan kata lain, Jakarta masih tetap menjadi motivasi utama dari daerah.

Sejumlah alasan mendorong pendatang baru masuk Jakarta, utamanya untuk mencari pekerjaan. Sulitnya memperoleh pekerjaan dengan upah yang lebih baik di daerah menjadikan Jakarta terus diburu. Apalagi, para pendatang mendapat kisah-kisah manis dari sejawat dan keluarga, yang mudah memperoleh uang dan pekerjaan di Jakarta.

Meski di sisi lain, mereka juga tahu kehidupan Jakarta sangat keras. Sehingga sebenarnya, sebagian besar dari pendatang baru ini sedang "berjudi" dengan masa depannya demi kehidupan yang lebih baik.

Sebab sebagian dari mereka tidak memiliki pengalaman dan keterampilan mumpuni. Padahal, mareka harus bertarung untuk memperebutkan lapangan kerja yang relatif terbatas dengan pendatang yang memiliki tingkat pengalaman dan keterampilan lebih baik.

Tentu, hasilnya dapat ditebak bahwa di tengah pertarungan yang tidak simetris itu, para pendatang minim pengalaman dan keterampilan akan tersingkir. Alhasil, untuk dapat bertahan hidup, mereka lalu menjajal sektor informaI (yang tidak berdampak besar terhadap output pertumbuhan secara keseluruhan).

Yang tersingkir akan melakukan berbagai cara untuk bertahan, di antaranya dengan bekerja serabutan, mengemis, hingga bertindak kriminal. Akhirnya, hidup di Ibu Kota teryata lebih sulit dari daerah.

Begitulah gambaran wajah Jakarta selama ini. Di tengah kemajuannya yang sangat pesat secara kasat mata, tampak jelas permasalahan besar di dalamnya seperti banjir, kemacetan, kemiskinan, ketimpangan, polusi, dan permasalahan sosial lainnya.

Bahkan, Jakarta bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk melihat potret ketimpangan Indonesia yang sudah sangat parah. Sebab dari Jakarta dapat disaksikan orang yang begitu kaya dengan kaum demikian miskin.

Efektif

Itulah sebabnya, cara yang lebih efektif untuk mengerem laju pendatang ke Ibu Kota dengan mendorong dan menciptakan pembangunan ekonomi lebih insklusif, merata, dan berkeadilan. Harus diakui, pembangunan ekonomi Indonesia dalam 70 tahun terakhir masih tetap berorientasi di pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sampai kini, Jawa masih menjadi penyumbang utama pertumbuhan nasional.

Sementara itu, kontribusi wilayah lain, khususnya Indonesia Timur, sangat minim. Ironisnya, di wilayah inilah banyak ditemukan kantong-kantong kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Padahal, di sini memiliki potensi sumber daya alam melimpah.

Model pembangunan ekonomi seperti inilah yang coba direorientasi pemerintahan Jokowi-Kalla. Pembangunan ekonomi akan dimulai dari pinggiran yang juga termaktub di dalam salah satu butir Nawa Cita.

Pemerintah Jokowi-Kalla terus berupaya untuk menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru di luar Jawa. Ini dengan melakukan diversifikasi sektor-sektor pendorong pertumbuhan ekonomi yang selama ini berorientasi pada sektor ekstraktif (pertambangan dan perkebunan) ke bidang-bidang yang mampu menciptakan nilai tambah baru (added value) dan menciptakan lapangan kerja baru seperti pariwisata, kemaritiman, manufaktur, dan industri kreatif.

Langkah awal untuk merealisasikannya dengan mendorong konsolidasi dan produktivitas fiskal (APBN). Alokasi subsidi selama ini tidak produktif dan tak tepat sasaran dipangkas. Hasilnya diarahkan ke sektor-sektor produktif dan bernilai tambah seperti infrastruktur, dana desa, pendidikan, pelatihan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Bahkan, pemerintahan Jokowi-Kalla terus gencar membangun beragam proyek infrastruktur strategis, khususnya di luar Jawa agar dapat menarik lebih banyak investasi. Salah satu kendala aliran investasi ke luar Jawa kondisi infrastruktur yang buruk.

Masuknya investasi ini diharapkan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Akhirnya akan mendorong terciptanya lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan.

Selain membangun infrastruktur, pemerintah Jokowi-Kalla juga meluncurkan berbagai relaksasi regulasi dan insentif melalui paket-paket ekonomi diikuti reformasi hukum dan birokrasi. Harus diakui ini masih menjadi faktor terbesar penghambat investasi.

Meski begitu, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi-Kalla tidak serta merta akan membuat pemerataan pertumbuhan terjadi dengan cepat. Namun, langkah yang telah dilakukan selama ini sudah tepat.

Itulah sebabnya dibutuhkan komitmen dan konsistensi berkelanjutan. Hanya dengan upaya-upaya seperti ini, diharapkan dapat mengerem derasnya laju perpindahan orang ke kota besar, seperti Jakarta. Tentu pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendiri, butuh dukungan dan kerja sama banyak pihak, khususnya pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak memajukan pembangunan ekonomi setempat.

Dana transfer daerah yang nilainya terus meningkat setiap tahun diharapkan dapat dimanfaatkan pemerintah daerah secara kreatif untuk menstimulasi perekonomian, memberdayakan masyarakat, dan menggali potensi-potensi pertumbuhan. Dana transfer tidak lagi dipakai untuk kegiatan nonproduktif dengan mengendapkannya di perbankan seperti selama ini.

Penulis Head Investment PT Capital Asset Management

Baca Juga: