Jumlah bendungan saat ini tidak sebanding dengan kebutuhan untuk mendukung produksi pertanian.

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus melanjutkan penyelesaian 61 bendungan pada 2015-2024 di berbagai wilayah Indonesia dalam rangka membangun ketahanan pangan dan ketahanan air nasional. Bendungan multifungsi yang dibangun bertujuan sebagai sumber air irigasi, air baku, energi listrik terbarukan, pengendalian banjir, konservasi air, dan pengembangan pariwisata.

Staf Ahli Menteri PUPR bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan sekaligus Juru Bicara Kementerian PUPR, Endra S Atmawidjaja, mengatakan sampai saat ini pihaknya sudah menuntaskan 42 dari target 61 bendungan. Pada 2023, sebanyak enam bendungan diselesaikan, yakni Bendungan Cipanas (Jabar), Sepaku Semoi (Kalimantan Timur), Tiu Suntuk (NTB), Karian (Banten), Ameroro (Sulawesi Tenggara), dan Lolak di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, yang baru saja diresmikan Presiden Joko Widodo.

"Saat ini, kita sedang upayakan sekuat tenaga untuk menyesaikan sisa 19 bendungan hingga akhir 2024 atau selambat-lambatnya di awal 2025," kata Jubir Endra, di Jakarta, Kamis (29/2).

Direktur Bendungan dan Danau Ditjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Adenan Rasyid, menuturkan dengan penyelesaian 42 bendungan tersebut, dapat mengairi sawah seluas 283.203 hektare (ha) atau empat kali luas wilayah Jakarta. Adapun produktivitas lahan untuk padi meningkat menjadi 4-5 juta ton per tahun dan menyediakan tambahan air baku sebesar 35,6 m3 per detik yang dapat memenuhi kebutuhan bagi 10 juta jiwa penduduk.

Adenan mengatakan untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman pangan, pemerintah melakukan dua strategi utama yakni meningkatkan konversi padi ke beras dan meningkatkan indeks pertanaman.

"Dengan penyelesaian 61 bendungan sampai 2024, akan meningkatkan indeks pertanaman dari 125 persen menjadi 209 persen. Layanan air irigasi akan meningkat dari 229 bendungan eksisting sebesar 10,6 persen (761 ribu ha) pada 2015 menjadi 18,11 persen (1,2 juta ha sawah irigasi) pada 2024," kata Adenan.

Selain untuk ketahanan air dan pangan, Adenan mengatakan tambahan bendungan yang selesai juga berpotensi untuk membangkitkan tenaga listrik (PLTA) dengan total kapasitas 255,2 MW, antara lain Bendungan Way Sekampung (5,40 MW); Jatigede (110 MW) dan Leuwikeris (20 MW)," tutup Adenan.

Pengelolaan Berkelanjutan

Dari Yogyakarta, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan air sangat vital bagi kelangsungan usaha pertanian. Untuk itu, saluran irigasi menjadi sangat urgen.

"Demikian halnya tata kelola air mestinya demokratis dan berkelanjutan," papar Awan.

Konkret dari pengelolaan air berkelanjutan dan demokratis itu sejalan dengan nilai sosial budaya, kearifan lokal, dan melibatkan institusi masyarakat adat atau lokal.

Awan mencontohkan penerapan sistem irigasi Subak di Bali. Ini mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/ irigasi sawah secara tradisional. Keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi/ konsep Tri Hita Karana.

Yang patut juga disoroti kata Awan jumlah bendungan saat ini tidak sebanding dengan kebutuhan. Sangat jauh apabila dibandingkan dengan Tiongkok yang memiliki 98.000 bendungan dan Korea Selatan yang hanya seluas Jawa Tengah punya 17.800 bendungan.

Dari laporan Kementerian PUPR, RI membutuhkan 300 bendungan baru untuk antisipasi krisis air dampak perubahan iklim. Dalam 10 tahun terakhir, Kementerian PUPR telah membangun sebanyak 60 bendungan untuk mencapai 100 persen ketahanan air.

Baca Juga: