>>Perlu insentif bagi pelaku usaha yang ingin masuk ke sektor substitusi impor.

>> Di Indonesia, secara umum impor hanya jadi alat rent seeking meraup untung besar.

JAKARTA - Kebergantungan yang tinggi pada impor, terutama pangan dan barang konsumsi, merupakan salah satu tantangan utama perekonomian Indonesia selama ini. Sejumlah kalangan menyatakan butuh kemauan kuat dari pemerintah untuk memangkas impor, misalnya, melalui penguatan industri dasar untuk mendorong substitusi impor bahan baku dan barang modal.

Selain itu, dibutuhkan pula keberanian pemerintah untuk menerapkan tarif impor tinggi, seperti pada impor pangan, guna melindungi petani pangan dalam negeri. Pemangkasan impor juga mesti dibarengi upaya memberantas praktik perburuan rente (rent seeking) impor, yang selama ini sangat berkepentingan untuk melanggengkan kebergantungan pada impor.

Ekonom Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, menilai persoalan impor Indonesia cukup dilematis karena berkait erat dengan pertumbuhan ekonomi, defisit perdagangan, dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). "Saat ekonomi menggeliat, impor bahan baku dan bahan modal meningkat, sehingga neraca dagang dan CAD meningkat.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi terhambat lagi. Ini salah satu sebab kita nggak bisa tumbuh kencang," ujar dia, di Jakarta, Rabu (2/1). Menurut Ari, pemerintah seharusnya memiliki program prioritas untuk mengurangi impor. "Memang impor tidak bisa langsung disetop, karena ekspor kita juga butuh impor untuk bahan baku ekspor yang bermutu tinggi.

Kalau kita produksi dengan barang yang berkualitas rendah, kita akan kalah sama Sri Lanka, Kamboja, dan Tiongkok," papar dia. Oleh karena itu, lanjut dia, yang harus dilakukan adalah secara simultan memacu ekspor sambil membangun industri penghasil bahan baku dan bahan setengah jadi, sehingga diharapkan terjadi substitusi impor.

Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Indef, Bhima Yudisthira, mengungkapkan jika pengembangan industri bahan baku belum optimal. Itulah yang membuat impor bahan baku dan bahan modal tidak pernah turun karena tidak adanya industri dasar yang kokoh di dalam negeri. "Mana bisa produsen lokal bersaing kalau bahan bakunya impor dan mahal.

Artinya, perlu perbaikan industri strategis Indonesia dimulai dari penguatan kapasitas hulu," imbuh dia. "Kondisi itu menunjukkan bahwa daya saing kita baik hulu maupun hilir memang lemah. Untuk memperbaikinya harus dimulai dari hulu," tambah Bhima. Menurut dia, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal yang lebih spesifik bagi pelaku usaha yang ingin masuk ke sektor pengolahan bahan baku terutama untuk substitusi impor.

Impor Pangan

Guru Besar Pertanian UGM, Masyhuri, belum lama ini mengemukakan selain melalui industri substitusi impor, negara-negara di dunia biasanya membatasi impor dengan tarif tinggi, namun Indonesia masih menerapkan tarif paling rendah, di bawah 3 persen. "Tapi, Indonesia secara umum, impor ini hanya jadi alat atau bonekanya rent seeking meraup untung sebesar-besarnya, hingga membunuh petani dan industri dasar," ujar dia.

Masyhuri menambahkan, impor pangan Indonesia yang mencapai 12 miliar dollar AS setahun merupakan salah satu pemicu defisit perdagangan hingga mencapai 7,5 miliar dollar AS. Bahkan, ekonom senior, Faisal Basri, menyebutkan defisit neraca perdagangan Januari- November 2018 yang mencapai 7,5 miliar dollar AS tersebut merupakan yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Masyhuri menilai defisit perdagangan itu sama saja Indonesia menyubsidi negara eksportir. Padahal, Indonesia belum menjadi negara kaya, tapi malah tekor hingga meminta-minta utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran.

Guna mengatasi karut-marut sektor pangan akibat kebergantungan yang tinggi pada impor, maka tidak ada jalan lain, pemerintah harus segera membentuk Badan Pangan sesuai amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. "Badan Pangan harus langsung di bawah Presiden, dengan kewenangan setingkat menteri koordinator," jelas dia.

ahm/YK/WP

Baca Juga: