JAKARTA - Pemerintah melalui sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Energi terus mendorong pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk membantu pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Nantinya, EBT akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil, mengurangi emisi gas rumah kaca dan menciptakan lapangan kerja.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan, Kementerian Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM) Jisman P Hutajulu menuturkan pemerintah terus mendorong terwujudnya ketahanan energi nasional. Dengan menuangkannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. Ketahanan energi, menurut Jisman, merupakan suatu kondisi ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi dengan harga terjangkau dalam jangka panjang dengan memperhatikan aspek perlindungan lingkungan hidup.

"Akses kita telah memiliki untuk menjangkau masyarakat tidak hanya di kota, tetapi juga mereka yang berada di pinggiran," Jisman dalam keterangan tertulis pada webinar bertajuk Energi Bangkitkan Ekonomi di Tengah Pandem, Kamis (25/11) .

Dia menambahkan listrik yang terjangkau oleh masyarakat, akan mendorong pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan industri dan tidak membebani masyarakat. Selain ada ketersediaan energi, juga harus ramah lingkungan. Kondisi kelistrikan nasional ada tiga siaga di Bangka, Manokwari dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Untuk Bangka, lanjut Jisman, mengalami pengurangan. Kendati pemerintah tengah menyiapkan kabel laut untuk mensuplai listrik ke Bangka. Yang diperkirakan energi akan bertambah dua kali lipat untuk wilayah Bangka. Dimana pihaknya tengah kebut untuk kabel bawah laut dan nanti bisa mensuplai 2 kali lipat energi ke Bangka. Demikian pula Manokwari dan NTT.

"Energi listrik saat ini ada 73,7 gigawatt dengan kepemilikan oleh PLN 60 atau 43 gigawatt. Untuk jenisnya sendiri ada 50 persen PLTU atau 37 gigawatt, PLTG 28 persen, PLTD 7 persen, EBT 11 persen. Untuk rasio elektriikasi 100 persen di 2022, saat ini baru 99,4 persen, kami melaksanakan program bantuan pasang baru listrik (PBL) 450 VA bagi rumah tangga miskin," katanya.

Defisit Perdagangan

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, defisit neraca dagang disumbang oleh sektor migas. Karena tingkat impor untuk sektor tersebut tinggi. Kendati hingga 2050 nanti Indonesia masih bergantung pada fosil.

"Secara paralel EBT harus dikembangkan, tetapi tidak bisa kemudian selamat tinggal fosil," katanya.

Dia menyebut, target EBT di 2025 mencapai 23 persen. Tentu sisanya 25 persen dari minyak bumi dan batubara 30 persen. Indonesia, menurut dia, memiliki potensi panas bumi yang luar biasa. Kendati, data pemerintah tingkat konsumsi energi pada 2050 tertinggi dari fosil.

Baca Juga: