Pada akhir bulan ini, para pengguna tol akan dipaksa secara sepihak untuk menggunakan pembayaran nontunia. Dalam ruang ini akan disampaikan keluhan- keluhan masyarakat sebagai masukan kepada para pengelola jalan tol. Itu juga kalau para pengelola tol mau mendengarkan dan tidak hanya mendengarkan tetapi juga merespons dengan mengubah pemaksaan tersebut.

Namun rasanya hanya pesimisme yang menghinggapi karena sepertinya pemaksaan sudah menjadi kebulatan tekad, apa pun suara dan keberatan pelanggan. Banyak surat pembaca mencoba mengingatkan para pengelola tol agar tidak bergaya diktator dengan mengabaikan masukan rakyat. Salah satu masukan yang mesti menjadi pertimbangan- sekali lagi seperti warga keluhkan sangat mungkin masukan ini diabaikan- agar diberi alternatif.

Indonesia negara demokrasi, bukan diktator di mana suara rakyat dibungkam. Pilihan menjadi ciri demokrasi. Keberatan pelanggan yang terbaca antara lain, tidak memiliki dana cukup untuk mengendapkan uang ke dalam kartu. bayangkan saja kalau dari Cikarang Utama harus membayar di Cileunyi yang 55.000, lalu berapa yang harus diendapkan. Mengisi 100.000 saja tidak cukup untuk bolak-balik.

Selain itu, kalau orang bukan tinggal di daerah tol, lalu bagaimana. Misalnya, seorang warga Yogyakarta yang harus ke Jakarta belum tentu setahun sekali, dia terpaksa membeli kartu untuk bisa lewat GTO. Kalau dana tersisa tentu uangnya mubasir. Sedangkan kartunya tidak bisa diuangkan kembali. Ini jelas tidak praktis.

Kecuali kalau kartu bisa diuangkan kembali dan dananya bisa dicairkan. Kecuali itu, pelanggan juga mengingatkan bahwa yang macet parah adalah jalan tol itu sendiri. Sedangkan gerbang tol seperti Karangtengah telah dibongkar tidak ada gunanya karena kemacetan tetap saja seperti sebelum gerbang dibongkar. Malahan belakangan kemacetan semakin parah karena pengelola membuat sumber kemacetan baru berupa exit dan entre di kiri-kanan. Ini contoh pembangunan yang tidak visioner, hanya memenuhi kebutuhan sesaat.

Sekarang saja sudah macet, apalagi setahun, dua tahun ke depan, jangan bicara 10 tahun, pasti mampet. Pelanggan mendesak, dua gerbang keluar dan masuk di Karangtengah itu harus segera dibongkar. Pelanggan juga mengusulkan agar ada pelebaran arah ke JORR, setelah Karangtengah. Pengelola tidak berbuat apa-apa, padahal itu menjadi biang kerok kemacetan dari arah Tangerang. Pembiaran kemacetan dan tidak berbuat apa-apa ini bagaimana ke depannya? Pengelola selalu tutup mata akan kemacetan yang disebabkan kendaraan mau ke JORR. Mestinya, mau membeli lahan sebelah kiri untuk pelebaran. Jangan lagi beralasan pembebasan lahan adalah pekerjaan negara. Kan itu bisa dibahas dengan negara. Tapi pengelola tidak melakukan apa-apa.

Para pengguna jalan tol juga mengharapkan alternatif tunai dengan alasan yang exit banyak gerbang tidak membuat macet. Contoh exit Karawaci, Kopo, dan Pasteur tidak ada alasan tidak menggunakan tunai karena menjorok cukup jauh dari jalan tol sehingga antrean kalaupun ada tidak akan membuat kemacetan. Yang justru membuat kemacetan adalah sikap tidak cerdas alias tidak visioner gerbang exit Karangtengah karena memakan badan jalan tol untuk antrean. Ini sangat tidak cerdas membangun exit di badan tol!

Begitulah berbagai keluhan atau desakan para pelanggan hendaknya didengarkan dan dilaksanakan. Namun seperti juga berbagai surat pembaca, sangat mungkin tak akan didengarkan pengelola jalan tol. Pengelola merasa dengan GTO seluruhnya kemacetan teratasi. Padahal kemacetan di GTO hanya sebagian kecil dari kemacetan di jalan tol itu sendiri.

Baca Juga: