Jika rupiah semakin terpuruk, bisa dipastikan ekonomi Indonesia akan semakin terguncang.

JAKARTA - Nilai tukar rupiah yang terus melemah semakin menyengsarakan rakyat. Hal itu karena beberapa kebutuhan masyarakat seperti obat-obatan dan peralatan medis bahan bakunya masih diimpor. Dengan rupiah yang semakin terpuruk mengakibatkan biaya produksi melonjak.

Sementara, di sisi masyarakat sebagai konsumen, daya beli terus tergerus terutama di kalangan pekerja pabrik karena tingkat kapasitas produksi diturunkan seiring dengan lemahnya permintaan.

Dalam kondisi seperti itu, masyarakat mau tidak mau harus selektif dalam melakukan pembelian. Hanya barang atau jasa yang sifatnya mendesak yang diprioritaskan, sedangkan yang bisa ditunda untuk sementara waktu mereka menahan diri.

Anehnya, di tengah situasi seperti itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto malah menyampaikan pernyataan yang kontroversial. Dia malah mengatakan pelemahan Rupiah yang terus berlanjut merupakan hal yang wajar mengingat perekonomian AS yang kian membaik diikuti dengan mata uang dollar AS yang juga menguat pada berbagai mata uang dunia.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyoroti pernyataan Menko Airlangga yang menyebut pelemahan nilai tukar rupiah masih wajar.

Menurut Anthony, apa yang disampaikan Airlangga menggambarkan pemerintah sudah tak berdaya menghadapi pelemahan rupiah, tetapi regulator tidak mau mengakuinya dan terpaksa mengeluarkan pernyataan yang terkesan tidak masuk akal. "Mereka tidak bisa apa-apa, mereka harus membela diri, ya jadinya begitu,"tegas Anthony ketika dihubungi Kamis (20/6).

Dampak dari ketidakberdayaan pemerintah mengatasi pelemahan nilai tukar maka harga, maka harga komoditas impor naik. Kenaikan harga pangan impor akan naik yang membuat daya beli masyarakat semakin terpukul.

Dia mengatakan menjelang liburan panjang Idul Adha, kurs rupiah ditutup pada level 16.486 per dollar AS pada 14 Juni 2024. Padahal, liburan panjang merupakan kesempatan emas bagi pemerintah untuk intervensi kurs rupiah yang terus terdepresiasi tajam.

Intervensi kurs rupiah pada hari pertama Idul Adha 17 Juni 2024 di pasar internasional tidak berhasil. Dollar AS masih bertahan di level 16.486 per dollar AS. Rupiah setelah itu sempat menguat.

"Namun, seperti sudah diduga, penguatan kurs rupiah tersebut hanya bersifat temporer, karena tidak berdasarkan faktor fundamental yang bagus. Tetapi, berdasarkan intervensi alias manipulasi pasar, sehingga penguatan kurs rupiah hanya bersifat temporer,"urai Anthony.

Dengan menguatnya kurs rupiah secara artifisial, Bank Indonesia menahan suku bunga acuan tetap di 6,25 persen. Sebagai respon atas kebijakan BI tersebut, nilai tukar rupiah langsung melemah lagi.

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra Badiul Hadi mendesak Pemerintah secepatnya mengatasi pelemahan nilai tukar untuk menjaga daya beli masyarakat.

Sebab, situasi ini akan menurunkan daya beli masyarakat dengan naiknya harga harga kebutuhan bahan makanan atau bahan pokok. "Jika pemerintah gagal membalik keadaan saat ini, justru rupiah semakin terpuruk, maka bisa dipastikan ekonomi Indonesia akan semakin terguncang," kata Badiul.

Pakar ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan, bukan sekedar faktor eksternal seperti kebijakan The Fed, namun pelemahan rupiah yang terus berlanjut juga disebabkan oleh kurangnya dukungan kepada para pelaku ekspor.

"Penyebab rupiah melemah memang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang seperti inflasi di AS, yang sebetulnya sudah berlangsung lama. Namun jangan dilupakan dengan gejolak di Terusan Suez dan Timur Tengah. Ini mendorong biaya naik, karena rantai supply terimbas. Sementara kita sendiri yang rutin ekspor adalah sektor komoditas, yang sekarang harganya sudah tidak seperti dulu lagi. Artinya ekspor tertekan tapi di sisi lain perhatian dan dukungan dari sisi regulasi kurang," kata Leo.

Kenaikan Suku Bunga

Bank Indonesia (BI) sendiri dalam keterangannya resmi menahan suku bunga acuan atau BI-Rate di level 6,25 persen. Padahal sebelumnya, pengamat pasar uang Ariston Tjendra menilai, para pelaku pasar memprediksi Bank Indonesia (BI) akan mengambil kebijakan kenaikan suku bunga untuk meredam pelemahan rupiah.

Menurut Ariston, kebijakan kenaikan suku bunga tersebut memang sedikit banyak bisa meredam pelemahan di tengah sentimen terhadap dollar AS yang masih kuat.

Baca Juga: