Sudah banyak nyawa melayang karena rumah sakit tidak bersedia menerima pasien karena tidak mampu menyediakan uang yang cukup. Banyak rumah sakit menolak pasien yang tidak memenuhi syarat keuangan. Hal inilah yang terjadi pada bayi Tiara Debora anak Henny Silalahi dan Rudianto. Debora meninggal karena tidak ditangani sebagaimana seharusnya Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat.
Menurut ibunya, bayi Debora pada Minggu (3/9) berkeringat terus. Itu terjadi sekitar pukul 02.30 WIB. Debora sesak napas dan tersengal. Dia juga batuk-batuk berdahak. Bantal Debora selalu basah sehingga terus diganti. Karena khawatir, Henny bersama suami melarihkan Debora ke RS Mitra Keluarga.
Menurut bagian IGD, Debora harus masuk ke pediatric intensive care unit (PICU). Untuk bisa masuk PICU, Henny diminta menyediakan dana 19,8 juta. Namun, suaminya hanya bisa menyediakan dana lima juta rupiah. Meski dalam kondisi darurat, sang bayi gagal dikirim ke PICU karena pihak rumah sakit tidak bersedia melakukan karena uang tidak cukup. Padahal, Rudianto berjanji akan melunasi kekurangannya. Karena tidak masuk PICU, nyawa Debora tak tertolong.
Ini sebenarnya masalah klasik di mana sering terjadi tarik-ulur keluarga korban dan rumah sakit terkait keuangan. Rumah sakit menuntut syarat keuangan dipenuhi, sedangkan karena darurat, keluarga korban kerap kali tidak mampu memenuhinya. Yang menjadi korban adalah pasien yang bisa jadi kehilangan nyawa karena darurat, seperti dialami Debora.
Padahal di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 32 Ayat 1 disebutkan, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dulu." Jadi, sudah jelas bahwa dalam kondisi kritis, pasien harus diutamakan. Dia harus dirawat sampai lewat masa kritisnya. Setelah itu, lalu didiskusikan untuk dirawat di ruangan atau di tempuh jalan lain.
Adapun terkait uang, UU juga secara tegas menyebutkan menduhulukan pasien. Dalam Pasal 32 Ayat 2 disebutkan, "Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka." Ayat ini tegas melarang rumah sakit menerima uang muka terhadap kondisi pasien kritis. Hanya, di sini bisa terjadi perdebatan memang, terkait kondisi kritis. Namun, rumah sakit tentu memahami yang masuk kategori kritis atau tidak.
Kalau kasus Debora masuk kondisi kritis, Rumah Sakit Mitra Keluarga bisa dikatakan melanggar UU Kesehatan. Jadi, ini tentu ada sanksinya. Untuk itu, Henny bisa menempuh jalur hukum untuk mengetahui siapa benar dan salah. Bagi rumah sakit lain, kasus ini hendaknya bisa menjadi pelajaran. Memang semua tahu bahwa dokter, obat, ruangan, dan alat kesehatan sangat mahal. Namun, ada ketentuan perundang-undangan yang harus ditaati.
Pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres menyatakan Debora diterima IGD sekitar pukul 03.40 WIB dalam keadaan tidak sadar dan tubuh tampak membiru. Dikatakan juga, pasien dengan lahir prematur memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (PDA) dan keadaan gizi kurang baik.
Berdasarkan pemeriksaan, Debora diterima rumah sakit dalam kondisi napas berat dan banyak dahak, saturasi oksigen sangat rendah, nadi 60 kali per menit, dan suhu badan 39 derajat Celsius. IGD lalu menjalankan pertolongan pertama berupa penyedotan lendir, pemasangan selang ke lambung dan intubasi (pasang selang napas). Kemudian juga dilakukan bagging atau pemompaan oksigen menggunakan tangan lewat selang napas, infus, obat suntikan, dan diberi pengencer dahak.