Ada empat tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ide mal pelayanan publik berbasis digital.

Bagus Nuari Harmawan, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Azwar Anas menargetkan pembukaan 120 mal pelayanan publik digital sepanjang 2023 di seluruh Indonesia. Jumlahnya diharapkan mencapai 411 mal pada 2024.

Hingga Januari 2023, pemerintah telah membuka 103 mal yang tersebar di berbagai wilayah.

Ide ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam mereformasi birokrasi untuk mempercepat pemberian layanan publik kepada masyarakat.

Mal pelayanan digital ini memberikan segala layanan administrasi kependudukan, mulai dari pembuatan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Kartu Identitas Anak, Akta Kelahiran, hingga Akta Kematian.

Dengan layanan digital ini, pemerintah dapat menghemat 50% waktu pelayanan dan 50% anggaran layanan publik.

Dalam pelaksanaannya, saya sebagai pengajar kajian pemerintahan digital melihat setidaknya ada empat tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan ide mal pelayanan publik ini.

1. Tantangan infrastruktur

Tantangan pertama pemerintah dalam membangun pelayanan publik berbasis digital adalah infrastruktur digital yang bisa mendukung pelayanan publik yang terintegrasi antardaerah.

Ketersediaan internet cepat merupakan aspek krusial untuk memastikan layanan digital mampu mencapai seluruh pelosok negeri.

Untuk itu, pemerintah harus lebih dulu menyelesaikan masalah infrastruktur. Salah satu contoh yang paling mendesak adalah Pembangunan Serat Optik Terintegrasi (Palapa Ring). Pembangunan serat optik menjadi penting untuk menghadirkan akses layanan internet yang cepat serta dapat diakses dari berbagai penjuru negeri.

Saat ini, pemerintah telah memiliki jejaring Palapa Ring fase pertama sepanjang 12.229 km dan sudah beroperasi sejak 2019.
Total Palapa Ring yang dibutuhkan agar bisa mengintegrasikan seluruh wilayah Indonesia adalah sepanjang 23.300 km di darat dan laut.

2. Literasi warga

Tantangan kedua adalah bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah terkait dengan literasi digital masyarakat.

Literasi digital merupakan kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan informasi dari berbagai sumber, yang bisa diakses melalui komputer atau media digital.

Literasi digital tidak hanya menekankan pada kemampuan dalam mengoperasikan teknologi informasi, tapi juga kemampuan untuk bersosialiasasi secara kritis, kreatif, dan inspiratif dalam ruang digital.

Survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center memperlihatkan bahwa indeks literasi digital di Indonesia berada pada skor 3,49. Artinya, Indonesia berada pada kategori sedang, dengan basis penilaian indeks 0-5.

Riset pada 2020 menjelaskan bahwa salah satu jalan untuk meningkatkan jumlah masyarakat yang memanfaatkan platform digital pemerintah adalah dengan mengadakan pelatihan literasi digital yang dilakukan secara rutin dan terprogram.

Tidak hanya literasi bagi masyarakat, pemerintah juga perlu memperhatikan kapasitas literasi digital yang dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN).

Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa hanya 0,17% pegawai pemerintah yang memiliki spesialisasi dalam pemanfaatan teknologi internet.

3. Integrasi data

Tantangan ketiga dalam penerapan layanan publik digital di Indonesia adalah integrasi data. Pemerintah membutuhkan sebuah bank data tunggal untuk memberikan pelayanan publik berbasis digital.

Bank data yang terpusat ini penting untuk memastikan adanya integrasi data. Jika ada warga yang pindah alamat domisili, ia tidak akan menghadapi masalah ketika ingin mengurus administrasi terkait kepindahannya karena datanya sudah tersimpan di bank data pusat.

Pada 23 Desember 2022 pemerintah telah merilis program Satu Data Indonesia (SDI) yang bertujuan untuk mengintegrasikan data antarlembaga pemerintah.

Mal pelayanan publik pemerintah yang berbasis digital ini akan memerlukan SDI untuk mewujudkan bank data yang terintegrasi. Lebih lanjut, SDI bisa dipakai sebagai basis untuk pelayanan publik yang dapat menghubungkan antarlembaga pemerintah di level pusat dan daerah.

Hari ini, tantangan terbesar dari integrasi satu data adalah jumlah aplikasi layanan digital di Indonesia yang masih terpecah-pecah di berbagai lembaga. Sampai 2022, pemerintah mempunyai 24.400 aplikasi pelayanan publik.

Banyaknya aplikasi berhubungan dengan pola pikir ASN yang masih menganggap satu instansi wajib memiliki satu aplikasi digital dan semakin banyak aplikasi maka semakin inovatif lembaganya.

Padahal, banyaknya aplikasi tersebut justru membuat pelayanan publik di Indonesia menjadi rumit dan tidak efisien.

4. Keamanan data

Keempat, isu kebocoran data menjadi salah satu aspek yang dapat menghadang implementasi pelayanan berbasis digital.

Beberapa waktu belakangan pemerintah masih kesulitan dalam mengontrol isu kebocoran data. Salah satu contohnya adalah bocornya 102 juta data personal dari sebuah instansi kementerian.

Laporan National Cyber Security Index (NCSI) tahun 2022 memperlihatkan bahwa skor Indonesia dalam konteks keamanan data hanya sebesar 38,96 dari nilai paling tinggi 100. Skor ini memperlihatkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-3 terendah di antara negara G-20.

Lebih lanjut, ketika menengok peringkat secara global dengan indikator penilaian yang sama, Indonesia menempati peringkat 83 dari 160 negara dalam konteks keamanan data.

Kebocoran data pribadi yang marak terjadi mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah yang dapat berdampak buruk pada pemanfaatan layanan publik digital yang disediakan pemerintah.

Rekomendasi solusi

Pemerintah meresmikan mal pelayanan publik berbasis digital pertama kali pada 2017 dengan tujuan untuk menghilangkan hambatan birokrasi yang selama ini melekat pada pelayanan publik.

Ke depannya, langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam membangun mal pelayanan publik digital adalah dengan meningkatkan kolaborasi dengan pihak swasta dan masyarakat.

Kolaborasi pemerintah dengan swasta dapat ditempuh sebagai jalan untuk mempersiapkan berbagai infrastruktur pendukung. Seperti bank data pada SDI yang dapat menampung data dalam jumlah besar maupun penyediaan broadband di masing-masing kabupaten/kota berfungsi untuk menghadirkan internet cepat ketika mengakses layanan pemerintah secara digital.

Skema kolaborasi antara pemerintah dan swasta sudah sering berlangsung dalam beberapa proyek. Misalnya, kolaborasi dalam membangun jaringan internet di wilayah terdepan, tertinggal dan terpencil (3T) yang dijalankan bersama PT Telkom Indonesia.

Contoh lainnya adalah kerja sama pemerintah dengan PT. XL Axiata Tbk untuk membangun jaringan internet di luar Jawa.

Lebih lanjut, kolaborasi dengan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk pelatihan literasi digital bagi warga. Ini merupakan aspek dasar jika pemerintah ingin warga dapat mengakses pelayanan publik.

Aspek lain yang harus diperhatikan dalam pembangunan mal pelayanan publik berbasis digital adalah tenaga ASN yang memiliki kapasitas dalam pemanfaatan teknologi informasi. Ini bisa diwujudkan dengan penerapan sistem rekrutmen baru yang berkualitas yang disertai dengan upaya peningkatan kapasitas bagi ASN yang belum punya keahlian.

Untuk menghadirkan pelayanan publik digital yang berkualitas dan dinikmati seluruh warga negara, pemerintah harus jeli dalam menyelesaikan tantangan ini terlebih dahulu.The Conversation

Bagus Nuari Harmawan, Lecturer at Department of Public Administration, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: