YOGYAKARTA - Empat tahun sejak diberlakukan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), mutu layanan dan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit masih memprihatinkan.

Integrasi data rujukan penanganan pasien serta sinkronisiasi biaya jaminan yang dilakukan belum terbuka dan transparan. Penyebab defisit anggaran di BPJS Kesehatan serta program pelayanan kesehatan pasien Tuberkulosisi (TB) hingga kini belum jelas.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi fragmentasi sistem pelayanan kesehatan di Yogyakarta, Kamis (28/12). Hadir sebagai pembicara, di antaranya peneliti Pusat Manajamen Pelayanan Kesehatan (PMPK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Laksono, Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Adi Utarini, dan perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kantor regional Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama.

Laksono mengatakan sudah terjadi fragmentasi sistem kesehatan antara jalur jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan) dan pelayanan kesehatan yang ada. Ia mencontohkan dalam program pelayanan Tuberkulosisi (TB) cenderung tidak ada koordinasi bersama antara pengelola TB, kabupaten, rumah sakit dan BPJS.

"Data mengenai biaya yang dikeluarkan untuk TB sulit dihitung dalam konteks klaim di rumah sakit, tidak ada transparansi mengenai mengapa terjadi defisit di BPJS Kesehatan. Penyebab defisit selama empat tahun ini tidak pernah dibahas dengan jelas," kata dia. Menurut Laksono, untuk mendapatkan data mengenai program TB tidak mudah semenjak adanya JKN ini.

Menurutnya, pengelola TB di pusat, provinsi, dan kabupaten kehilangan data yang seharusnya bisa dianalisis. "Pada tahun keempat JKN, pengelola TB semakin sulit mengukur efisiensi dan akuntabilitas program TB," ujarnya.

Sementara itu, data yang ada di BPJS Kesehatan, lanjut dia, dikelola secara sentralistik dengan tidak ada kesempatan untuk melakukan analisis di level kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional.

Data Pasien TB

Adi Utarini mengungkapkan seharusnya data mengenai TB bisa dilakukan secara komprehensif karena umumnya pasien TB berobat di rumah sakit pemerintah. "Seharusnya data lebih mudah diakses dan kompatibel. Apalagi sebagian besar pasien TB umumnya berobat ke rumah sakit pemerintah," katanya.

Selain itu, Adi Utarini mengungkapkan masih sulit untuk mengetahui rujukan penaganan TB dari tingkat puskesmas hingga rumah sakit. Menurutnya, data tentang rujukan pasien TB yang melakukan rawat jalan atau rawat inap serta treatment yang diberikan sangat penting untuk mengetahui sejauh mana efektivitas keberhasilan penanganan TB.

Sementara itu, Tjandra Yoga menilai seharusnya BPJS Kesehatan dan rumah sakit lebih terbuka dalam melaporkan pasien TB yang melakukan perawatan. Ini penting untuk mengetahui tingkat keberhasilan penyembuhan pasien TB. "Dengan begitu, diketahui data berapa persen pasien yang sembuh dan yang tidak," tandasnya. YK/E-3

Baca Juga: