Krisis pangan global bukan hanya peringatan, tetapi sudah di depan mata.
JAKARTA - Para pejabat di pemerintahan, terutama di level Menteri, diminta tidak melihat pangan sebagai masalah sederhana melalui penggunaan parameter yang sangat mudah seperti stok cadangan beras pemerintah (CBP) mencukupi beberapa bulan ke depan.
Pernyataan-pernyataan seperti yang penting di gudang ada beras merupakan pemikiran yang picik, karena tidak menggali lebih dalam sumber stok di gudang diperoleh dari mana, apakah murni produksi petani dalam negeri atau semuanya dari impor.
Lebih dari itu, pemerintah harus betul-betul sadar kalau banyak lahan-lahan pertanian yang subur dan potensial, tapi malah lahannya dialih fungsikan dan dibeton seperti menjadi perumahan.
Mereka seharusnya bersyukur, Indonesia dikaruniai tanah yang subur dengan kualitas nomor satu untuk pertanian, bukan malah dijadikan hutan beton yang membuat petani semakin miskin karena lahannya dicaplok untuk properti. Pada akhirnya, negara agraris ini tidak punya generasi penerus sebagai petani dan oleh generasi mendatang para pengambil keputusan itu akan disumpahin.
Oleh generasi penerus, anak cucu, para pejabat itu dianggap hanya mendatangkan bencana dan prahara. Saking mental korup dan kurang bermoral, mereka bahkan sudah tidak takut lagi pada KPK dan rela dipenjara beberapa tahun hanya demi uang. Oknum-oknum seperti itu hatinya sudah beku sehingga tidak peduli dengan hukuman penjara. Dia tidak sadar kalau hukuman penjara hanya sementara, dan masih pertanggungjawaban di akhirat yang kekal.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, YB Suhartoko, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Kamis (16/11), mengatakan yang patut menjadi catatan adalah sering kali lahan yang subur tidak dimanfaatkan untuk pertanian, namun digunakan untuk pembangunan pabrik, perumahaan, gudang, dan sebagainya.
Agar lahan pertanian tetap terpelihara, perencanaan tata ruang ke depan harus memperhatikan juga antara produksi bahan pangan dengan peruntukan yang lain.
"Jika dilakukan dengan serampangan tanpa pengawasan, bukan tidak mungkin lahan-lahan subur yang seharusnya menghasilkan pangan digunakan untuk yang lain. Akhirnya, kita menjadi mengimpor pangan terbesar," kata Suhartoko.
Sejatinya, kemandirian pangan dalam tindakan nyata itu tidak ada. Ujung-ujungnya ya impor. Ini modus lama dari belasan tahun lalu, artinya tidak ada kemajuan dalam reformasi. Malah kemunduran. Pemerintah tidak siap. Krisis pangan global bukan hanya peringatan, tetapi sudah di depan mata. Kenapa tidak siap? Karena korupsi berlanjut dari rezim ke rezim.
"Program food estate kita selalu gagal karena mental korup. Bikin food estate itu berbeda dengan membuat proyek jalan raya yang bisa diserahkan kepada kontraktor. Untuk ketahanan pangan, kita harus mencari petani andal yang sangat sulit karena sudah belasan tahun tidak diperhatikan.
Semakin Besar
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan kegagalan dalam mendorong produksi pangan dengan pemanfaatan lahan subur atau melalui intensifikasi terbukti menjadikan ketergantungan impor beras makin besar.
"Padahal pemanfaatan lahan subur bisa dilakukan dengan mendorong riset benih unggul yang lebih serius, disertai dengan bantuan alsintan," ungkap Bhima.
Bhima pun menyoroti rasio belanja riset sejauh ini yang sangat kecil hanya 0,3 persen produk domestik bruto (PDB), bahkan untuk riset pertanian lebih kecil lagi.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan tidak dimanfatkannya lahan subur itu karena tidak ada good will (kemauan baik) dari pemerintah untuk menghentikan impor.
Pemerintah, katanya, harus memperhatikan empat faktor kalau ingin menggapai swasembada pangan.
Pertama, menciptakan kondisi iklim yang kondusif untuk memproduksi beras, seperti tersedia pupuk, sarpras lainnya. Kedua, menciptakan akses pemasaran sehingga petani bisa menjual hasil produknya ke konsumen bukan ke tengkulak.
Ketiga, mendorong tercapainya produksi sehingga bisa swasembada pangan, misalnya dengan mengadakan sekolah lapangan untuk petani sehingga petani punya pengetahuan yang cukup untuk bercocok tanam yang baik.
Keempat, alternatif livelihood. Artinya, mendorong petani punya pekerjaan sampingan karena petani yang survive adalah petani yang punya tambahan pendapatan sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dari pekerjaan itu, sedangkan hasil panennya bisa dijual dan ditabung.
Kalau petani tidak punya pekerjaan sampingan, biasanya mereka akan terlilit utang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian, pada saat panen akan dijual ke tengkulak yang kasih utang sebelumnya ke dia sehingga harganya pun bisa dipermainkan.