Pedagang kaki lima (PKL) di Jakarta, khususnya di Pasar Tanah Abang, kembali menjadi sorotan belakangan. Setelah Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno dilantik, para pedagang kembali mengokupasi dan menempati trotoar.

Kawasan Pasar dan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, seperti sulit untuk lepas dari kesemerawutan para PKL dan angkutan umum. Berulang kali Pemprov DKI Jakarta membuat kebijakan untuk menata kawasan tersebut, namun hingga kini Tanah Abang masih tetap saja semerawut.

Ketidaktegasan aparat terhadap PKL dang sopir angkutan umum nakal di kawasan Tanah Abang menjadi salah satu sesbab kawasan tersebut tetap ruwet. Meski sudah berkali-kali ditertibkan, PKL tidak pernah menyerah. Setelah operasi penertiban berakhir, para pedagang kembali menempati trotoar.

Selain mengganggu pejalan kaki, mereka kerap membuat kemacetan lalu lintas. Alasannya sama, mencari tempat ramai pembeli. Lokasi dekat Stasiun Tanah Abang membuat pembeli bisa langsung melihat-lihat dagangan dan mendekat, bila tertarik. Jika di Blok G, pembeli harus berjalan jauh dan menaiki tangga.

Pembeli malas melewati rute melelahkan itu. Pedagang memilih berjualan di trotoar dan tak mau pindah ke Blok G karena harga sewanya mahal. Pendapatan tidak sebanding andai masih harus membayar sewa kios Blok G. Tempat yang sudah disiapkan Pemprov DKI tersebut lebih cocok diberikan kepada pemilik toko besar, bukan PKL.

Akibatnya, jalur pedestrian yang telah ditata sejak tahun 2016, dilengkapi paving blok hingga yellow lin untuk memudahkan penderita tuna netra melintasi, dimanfaatkan PKL berjualan dan parkir liar. Para pejalan kaki pun tersingkir dan harus berbagi ruang dengan kendaraan bermotor.

Sayangnya, puluhan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang berjaga hanya dudukduduk. Mereka membiarkan trotoar hingga badan jalan diokupasi pedagang. Sesuai dengan Pasal 25 Perda Nomor 8 Tahun 2007, setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan/ trotoar, halte, jembatan penyeberangan, dan tempat umum di luar ketentuan yang telah ditetapkan.

Sesuai dengan fungsi dan tugasnya dalam Pasal 5 PP Nomor 6 Tahun 2010, Satpol PP menegakkan perda dan ketentuan Kepala Daerah itu. Tetapi yang terjadi sebaliknya. Hasil investigasi Ombudsman mengungkapkan adanya tindakan tidak patut Satpol PP DKI Jakarta dalam menertibkan PKL sejumlah wilayah.

Salah satunya di Tanah Abang. Oknum preman dan oknum Satpol PP bersekongkol mendapat setoran atau upeti dari PKL setiap bulan. Kalau dulu PKL langsung memberi upeti ke Satpol PP, sekarang uangnya diberikan melalui perantara. Praktik maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan pembiaran itu tidak hanya dilakukan Satpol PP, tetapi juga oknum Kelurahan dan Kecamatan.

Tim Ombudsman menemukan peran Ketua RT disalahgunakan dengan memposisikan diri sebagai pemberi izin PKL. Itu terjadi di sekitar mal Ambassador. Kesemerawutan ini mengambarkan, pengawasan dan koordinasi pemerintah provinsi dalam penertiban PKL belum optimal. Oknum aparatur sering membocorkan rencana razia PKL.

Kondisi ini tidak hanya merugikan PKL, namun juga masyarakat selaku pengguna trotoar maupun fasilitas umum lainnya. Tindakan malaadministrasi tersebut berimbas tercorengnya citra Aparatur Sipil Negara, khususnya Satpol PP dan Pemprov DKI Jakarta.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu segera menata ulang pedagang PKL yang kembali memenuhi sejumlah kawasan, termasuk Tanah Abang. Penyelesaian Tanah Abang tak bisa hanya dengan berpikir jangka pendek.

Persoalan PKL itu muncul tidak saat ini saja, tetapi sudah bertahuntahun dan selalu berulang. Perlu ada solusi permanen dan jangka panjang untuk menyelesaikannya.

Baca Juga: