Ratusan pedagang asongan di kawasan Malioboro yang tergabung dalam Komunitas Pedagang Asongan Malioboro Yogyakarta terancam tak bisa lagi berjualan. Pasalnya, mereka tak punya legalitas untuk berjualan di kawasan Jalan Malioboro setelah adanya relokasi pedagang kaki lima (PKL) ke Teras Malioboro I dan II.

"Sejak dilakukan relokasi PKL ke lokasi baru, kami pun tidak lagi diizinkan berjualan di Malioboro. Kami menuntut keadilan sosial," kata ketua Komunitas Pedagang Asongan Malioboro (KPAM) Yogyakarta, Raden Ridwan Suryobintoro di sela audiensi dengan Pansus Relokasi PKL Malioboro DPRD Kota Yogyakarta, seperti dikutip dari Antara, Senin (14/3).

Larangan pedagang asongan berjualan di sepanjang jalan Malioboro disebabkan karena mereka tak memiliki legalitas untuk berjualan. Namun, Ridwan membandingkan pedagang asongan dengan para penyewa skuter atau otoped listrik yang meskipun tak punya legalitas tapi tetap bebas beroperasi sampai saat ini di sepanjang pedestrian Jalan Malioboro.

"Penyewa otoped listrik juga tidak memiliki legalitas. Mengapa mereka diperbolehkan melakukan kegiatan ekonomi di pedestrian Malioboro tetapi kami tidak," lanjutnya.

Karena itu, Ridwan dan ratusan pedagang asongan Malioboro lain merasa tidak mendapatkan keadilan. Apalagi menurutnya sampai saat ini tidak ada peraturan daerah maupun peraturan walikota yang melarang pedagang asongan berjualan di kawasan Malioboro.

"Setahu kami, larangan bagi asongan hanya berlaku di kawasan Benteng Vredeburg saja, sedangkan di Malioboro tidak ada aturan tersebut," ujarnya.

Ridwan berharap, jika para penyewa otoped listrik saja diizinkan untuk melakukan aktivitas perekonomian di sepanjang Jalan Malioboro, seharusnya para pedagang asongan juga diizinkan sebagai bentuk keadilan sosial. Apalagi berdasarkan data KPAM, sebelum adanya relokasi PKL ada 181 pedagang asongan yang tergabung dalam komunitas tersebut dengan 12 unit usaha. Kini, mereka tak bisa lagi berjualan di Malioboro, sebab jika memaksa akan ditertibkan oleh petugas Jogoboyo.

"Sekarang, kami berjualan di sirip-sirip Jalan Malioboro karena lokasi tersebut berada di luar kewenangan UPT Kawasan Cagar Budaya," kata Raden Ridwan

Sebelumnya, pedagang asongan Malioboro menurutnya sempat didata dan diminta mengumpulkan KTP sebelum relokasi PKL. Namun sampai saat ini menurutnya tak ada kelanjutan dari pendataan tersebut, dari pemerintah pun tak pernah ada informasi apapun terkait dengan nasib para pedagang asongan.

Sementara itu, Ketua Pansus Relokasi PKL Malioboro, Antonius Fokki Ardiyanto mengatakan bahwa pihaknya harus berkoordinasi dengan beberapa pihak untuk menemukan solusi atas permasalahan ini. Dia juga mengatakan bahwa secara esensi kebijakan penataan PKL Malioboro memang diperuntukkan untuk PKL saja.

"Sama sekali tidak menyebut pedagang asongan secara spesifik," kata Fokki.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, ketika dihubungi langsung saat audiensi mengatakan bahwa pemerintah memang tidak memberikan akomodasi khusus kepada pedagang asongan saat relokasi PKL Malioboro. Pasalnya, pedagang asongan adalah pedagang yang berpindah-pindah tempat.

"Karenanya kami pun tidak mengakomodasi mereka saat relokasi PKL," kata Yetti Martanti.

Yetti juga menegaskan bahwa pedagang asongan memang dilarang berjualan di sepanjang Jalan Malioboro. Peraturan tersebut menurutnya sudah diberlakukan sebelum dilakukannya relokasi PKL. (Ant/YK-1)

Baca Juga: