Jumlahnya yang tinggi membuat pemilih muda sangat berpengaruh terhadap penentuan hasil pemilu. Menjadi bidikan parpol untuk mengeruk suara elektoral.
Nina Andriana, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian serial "#PemilihMuda2024"
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 adalah sekitar 204 juta pemilih. Dari angka tersebut, sebanyak 52% atau 107 juta adalah pemilih muda, dengan rentang usia 17-39 tahun.
Jika dikategorikan lebih rinci, dari jumlah pemilih muda tersebut, kelompok generasi baby boomer (lahir tahun 1946-1964) adalah sebesar 13,73%, generasi milenial sebanyak 23,60% (lahir tahun 1980-1995), dan generasi Z (lahir tahun 1997-2000) sebanyak 22,85%.
Jumlahnya yang tinggi membuat pemilih generasi milenial dan Z menjadi salah satu aspek signifikan dan akan sangat berpengaruh terhadap penentuan hasil pemilu. Ini membuat ceruk milenial menjadi bidikan partai politik (parpol) untuk mengeruk suara elektoral.
Tentu saja, seperti yang sudah diyakini secara luas, kedua generasi ini adalah kelompok yang paling banyak menggunakan saluran komunikasi modern yang berbasiskan jaringan internet, termasuk media sosial.
Laporan "Profil Internet Indonesia 2022" oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dipublikasikan pada Juni 2022 menemukan bahwa tingkat penetrasi pengguna internet oleh kelompok usia 13-18 tahun adalah 99,16%, pada kelompok usia 19-34 tahun sebesar 98,64% dan pada kelompok usia 35-54 tahun adalah sebesar 87,30%.
Untuk dapat menggaet suara generasi milenial dan Z ini, parpol perlu mempersiapkan diri dan memahami pola, karakter dan jenis konsumsi media komunikasi mereka.
Saya melakukan riset tentang pandangan parpol terhadap media sosial dalam menjangkau pemilih muda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai objek penelitian utama.
PDI-P dipilih karena merupakan parpol pemenang Pemilu 2019 dan menjadi partai tertua kedua di Indonesia. PDI-P juga salah satu partai yang mampu tetap eksis dan dapat mempertahankan akar rumputnya selama melewati fase pergantian rezim serta perubahan perkembangan teknologi informasi yang memberikan pengaruh besar pada perilaku komunikasi politik publik.
Sementara, PSI dipilih karena merupakan parpol baru di Pemilu 2019 dan berada pada urutan enam terbawah dalam hasil Pemilu. PSI juga disebut-sebut sebagai partai anak muda karena 60% dari total calegnya berusia di bawah 45 tahun.
Hasil studi saya menemukan bahwa PDI-P cenderung hanya melihat media sosial sebagai sarana branding partai - hanya terjadi komunikasi satu arah. Sedangkan PSI menganggap media sosial tidak hanya sebagai media untuk branding dan mengenalkan program partai tetapi juga wadah untuk berdialog dengan publik, sehingga terjadi komunikasi dua arah.
Pandangan yang berbeda antara dua parpol ini dalam memanfaatkan media sosial untuk komunikasi politik kurang lebih akan memengaruhi bentuk pesan politik yang mereka sampaikan pada publik. Dan yang pasti, cara pandang mereka terhadap media sosial pun mencerminkan cara pandangan mereka terhadap pemilih milenial dan generasi Z.
Media sosial dalam pandangan PDI-P dan PSI
Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan, saya menemukan bahwa aktivitas komunikasi politik PDI-P dan PSI di media sosial akan terlihat sama secara sepintas.
Keduanya sama-sama memanfaatkan kemudahan, efisiensi biaya dan kemampuan untuk menjangkau luas untuk mendistribusikan iklan politik mereka. Ini mereka lakukan guna memperkenalkan dan sekaligus membangun citra partai yang positif.
Namun, jika ditelaah lebih lanjut, bentuk iklan politik yang mereka tampilkan masing-masing menunjukkan arah yang berbeda.
PDI-P, misalnya, memosisikan media sosial seperti halnya media lama (media massa non elektronik), selayaknya sifat iklan adalah bentuk komunikasi persuasif, yakni tidak memiliki ruang dialog di dalamnya. Model komunikasi politik satu arah inilah yang masih diterapkan oleh PDI-P melalui jaringan media sosialnya.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan sejumlah narasumber yang merupakan pengurus partai dan organisasi sayap partai, hingga saat ini PDI-P masih meyakini bahwa komunikasi politik secara interpersonal dan interaksi secara langsung dengan konstituen masih lebih efektif, termasuk dengan konstituen yang merupakan anak muda.
Jadi, alih-alih membangun ruang dialog di media sosial, PDI-P masih lebih bergantung pada organisasi-organisasi sayap partai, baik pusat maupun daerah, untuk berinteraksi langsung dengan pemilih muda.
Ini berbeda dengan strategi PSI. Partai yang lahir tahun 2014 ini memandang bahwa media sosial dapat menjadi wadah untuk membangun komunikasi dua arah antara partai dengan masyarakat di dunia maya.
Bagi PSI, dialog adalah bagian dari edukasi politik bagi masyarakat, khususnya kelompok muda, agar mereka mampu memahami pentingnya partisipasi dalam dunia politik.
PSI juga bermaksud memperlihatkan pada generasi muda bahwa politik bukanlah sebuah proses yang asing dan harus dijauhi dari keseharian mereka. Partai ini percaya bahwa melakukan dialog yang intensif dengan kelompok muda lewat media sosial dapat membantu membangun citra positif partai.
Selain itu, PSI juga gencar mengemas pesan yang berisi program dan gagasan partai dengan bahasa yang lebih ringan dan mudah dipahami oleh generasi milenial dan Z, menghindari retorika yang berlebihan dalam menyusun narasi pesan di media sosial, serta menggunakan gambar dan video untuk menarik perhatian anak muda.
Parpol perlu buka dialog dua arah
Dalam kaitannya dengan politik, media sosial dan komunikasi lain yang berbasiskan internet telah menawarkan kemudahan dialog tanpa batas. Parpol seharusnya bisa memaksimalkan fungsi ini.
Basis massa yang kuat dan rekam jejak yang panjang jelas membuat PDI-P mampu meraup banyak suara, setidaknya dalam Pemilu terakhir. Namun, PDI-P - serta parpol-parpol lainnya - juga perlu belajar mengenai kebutuhan dan gaya komunikasi yang dimiliki oleh pemilih muda.
Parpol harus meninggalkan pemahaman yang menyamakan fungsi media sosial dengan media mainstream. Jika paradigma tersebut terus dipelihara, maka budaya politik yang tidak sehat akan terus berlangsung. Masyarakat tidak akan dapat memainkan perannya sebagai kontrol terhadap wakil rakyat yang telah mereka pilih.
Jika ini terus terjadi, menurut narasumber yang merupakan pengurus DPP PSI, konsekuensinya adalah munculnya sikap apatis dari generasi milenial dan Z terhadap politik pada kehadiran parpol, karena mereka menganggap parpol hanya membutuhkan mereka ketika mendekati pemilihan saja.
Selain itu, parpol juga harus memandang pemilih muda sebagai kelompok komunikan yang aktif dan kritis, sehingga sangat penting untuk membicarakan isu yang menyentuh langsung kebutuhan hidup mereka.
Dengan terus melajunya perkembangan digital, sudah saatnya komunikasi politik lebih mengarah kepada dialog dua arah, bukan lagi satu arah dan hanya sebatas retorika.
Nina Andriana, Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.