Utusan Khusus PBB menyatakan setiap pemilu yang digelar junta akan memicu kekerasan yang lebih besar serta memperpanjang konflik.

BANGKOK - Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar pada Selasa (31/1), menyerukan komunitas internasional untuk bersatu dalam melawan Myanmar setelah junta yang berkuasa merencanakan pemilu yang diperkirakan akan memicu kekerasan yang lebih besar.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi hampir dua tahun lalu. Militer melakukan kudeta setelah menuduh adanya kecurangan besar-besaran selama pemilu pada 2020 yang dimenangkan partai Suu Kyi.

Junta rencananya akan mengakhiri keadaan darurat pada akhir Januari, setelah konstitusi menyatakan pihak berwenang harus menjalankan rencana untuk mengadakan pemilihan umum baru.

"Setiap pemilu yang digelar junta militer akan memicu kekerasan yang lebih besar, memperpanjang konflik dan membuat upaya pemulihan kembali demokrasi dan stabilitas lebih sulit," ucap utusan khusus PBB, Noeleen Heyzer.

Dalam pernyataannya, Heyzer menyerukan agar komunitas internasional untuk bersatu bagi menentang rencana pemilu junta. Amerika Serikat (AS) mengatakan pemilu apapun yang akan digelar junta sebagai dagelan. Sedangkan sekutu dekat junta, Russia, mengatakan mereka mendukung penyelenggaraan pesta demokrasi itu.

Sebelumnya pada Senin (30/1) seorang juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa ia amat prihatin dengan itikad junta militer untuk mengadakan pemilu di tengah tiada hentinya penangkapan, intimidasi, dan pelecehan yang terus berlanjut terhadap para pemimpin politik, aktor masyarakat sipil, dan jurnalis.

"Tanpa syarat yang memungkinkan rakyat Myanmar untuk secara bebas menggunakan hak politiknya, pemilu yang diusulkan berisiko memperburuk ketidakstabilan," demikian pernyataan juru bicara itu.

Saat ini junta memberi waktu dua bulan kepada partai-partai politik yang ada dan calon untuk mendaftar ulang di bawah undang-undang pemilu baru yang ketat danpemberlakukan UU pemilu baru ini merupakan indikasi bahwa junta sedang merencanakan pemilu pada tahun ini.

Perekonomian Tertinggal

Sementara itu Bank Dunia pada Senin melaporkan bahwa perekonomian Myanmar diperkirakan akan tumbuh pada akhir tahun fiskal ini, tetapi masih tertinggal dari tingkat sebelum kudeta militer 1 Februari 2021.

"Myanmar diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen pada akhir September nanti," ungkap Bank Dunia.

Lewat rilis laporan perekonomian itu, Bank Dunia menyatakan bahwa ada risiko yang lebih besar dibanding hal-hal positif terkait pemulihan ekonomi Myanmar. Hal ini mencakup memburuknya konflik menjelang pemilu yang direncanakan junta penguasa.

Laporan ini merangkum soal betapa rentannya ekonomi Myanmar dalam enam bulan terakhir.

Kudeta militer di Myanmar telah memicu pengenaan sanksi-sanksi dari negara-negara Barat, sementara investor asing enggan berbisnis di negara itu karena berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan. Terus berlanjutnya ketidakstabilan, ditambah gaya memerintah junta militer, juga berkontribusi pada prediksi ekonomi yang suram.AFP/VoA/I-1

Baca Juga: