JENEWA - Ketua hak asasi manusia PBB pada Minggu (19/5) mengatakan ia sangat khawatir dengan kembalinya kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan memperingatkan akan adanya kekejaman lebih lanjut.

Bentrokan telah mengguncang Rakhine sejak Tentara Arakan (AA) menyerang pasukan keamanan pada bulan November, mengakhiri gencatan senjata yang sebagian besar telah dilaksanakan sejak kudeta militer tahun 2021.

"Saya sangat khawatir dengan laporan kekerasan baru dan perusakan properti diKotapraja Buthidaung diNegaraBagian Rakhine utara, Myanmar, yang mengakibatkan puluhan ribu warga sipil, terutama Rohingya, mengungsi," kata Volker Turk dalam sebuah pernyataan.

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mengindikasikan bahwa PBB berupaya untuk menguatkan informasi yang menunjukkan adanya pelanggaran serius.

Turk menambahkan: "Dengan tingginya ketegangan antar-komunitas antara etnis Rakhine dan Rohingya yang secara aktif dipicu oleh militer, ini adalah periode kritis ketika risiko kejahatan kekejaman lebih lanjut menjadi sangat akut."

Ratusan Tewas

AA adalah salah satu dari beberapa kelompok etnis minoritas bersenjata di wilayah perbatasan Myanmar, banyak diantaranya telah berperang melawan militer sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948 demi otonomi dan kendali atas sumber daya yang menguntungkan.

AA mengaku memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi penduduk etnis Rakhine di negara bagian tersebut.

Pertempuran telah menyebar ke 15 dari 17 kota di Negara Bagian Rakhine sejak November, kata Turk pada bulan April, dan ratusan orang tewas atau terluka dan lebih dari 300.000 orang mengungsi.

Turk kemudian mengajukan permohonan langsung kepada militer Myanmar dan AA untuk menghentikan pertempuran, melindungi warga sipil, mengizinkan akses kemanusiaan segera dan tanpa hambatan, serta untuk mematuhi hukum internasional tanpa syarat.

Dia juga mengimbau negara tetangganya, Bangladesh, untuk memperluas perlindungan kepada orang-orang rentan yang mencari keselamatan.

Bentrokan antara AA dan militer pada tahun 2019 telah mengguncang wilayah tersebut dan menyebabkan sekitar 200.000 orang mengungsi.

Militer melancarkan tindakan keras terhadap minoritas Rohingya di sana pada tahun 2017 dan kini menjadi subjek kasus genosida PBB. AFP/I-1

Baca Juga: