NEW YORK - Para pemimpin dunia berkumpul di New York pada hari Minggu (22/9) untuk menghadiri KTT Masa Depan yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan abad ke-21 mulai dari konflik hingga iklim, di tengah skeptisisme mengenai apakah perjanjian akhir tersebut akan mencapai tujuan mulianya. Dikutip dari Caledonian Record, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pertama kali mengusulkan pertemuan tersebut pada tahun 2021, menyebutnya sebagai kesempatan sekali dalam satu generasi untuk membentuk kembali sejarah manusia dengan menghidupkan kembali kerja sama internasional.
Sebagai acara pembukaan pekan tingkat tinggi tahunan Majelis Umum PBB, yang dimulai sejak Selasa, puluhan kepala negara dan pemerintahan diperkirakan akan mengadopsi Perjanjian untuk Masa Depan, pada hari Minggu.
Namun setelah negosiasi intens di menit-menit terakhir, Guterres mengungkapkan rasa frustrasinya, mendesak negara-negara untuk menunjukkan visi dan keberanian, dan menyerukan ambisi maksimal untuk memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berjuang untuk menanggapi ancaman-ancaman saat ini secara efektif.
Dalam versi terbaru teks yang akan diserahkan untuk diadopsi, para pemimpin berjanji untuk memperkuat sistem multilateral guna mengimbangi perubahan dunia dan melindungi kebutuhan dan kepentingan generasi sekarang dan masa depan" yang menghadapi "krisis berkelanjutan. "Kami percaya ada jalan menuju masa depan yang lebih cerah bagi seluruh umat manusia," katanya. Pakta yang mencakup hampir 30 halaman tersebut menguraikan 56 tindakan, termasuk komitmen terhadap multilateralisme, menegakkan Piagam PBB, dan menjaga perdamaian.
Kecerdasan Buatan
Ia juga menyerukan reformasi terhadap lembaga keuangan internasional dan Dewan Keamanan PBB, bersamaan dengan upaya baru untuk memerangi perubahan iklim, mendorong pelucutan senjata, dan mengarahkan pengembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
"Meskipun ada beberapa ide bagus, teks tersebut bukanlah jenis dokumen revolusioner yang mereformasi seluruh multilateralisme yang awalnya diserukan Antonio Guterres," kata Richard Gowan dari International Crisis Group. Sentimen ini dianut secara luas di kalangan diplomat, banyak di antaranya yang mengungkapkan rasa frustrasi saat membahas ambisi dan dampak teks itu, dengan menggambarkannya sebagai "suam-suam kuku", nilai rata- rata terendah, dan mengecewakan. "Idealnya, Anda mengharapkan ideide baru, ide-ide segar. Anda tahu, 2.0 dan seterusnya.
Namun, ketika Anda memiliki 200 negara yang semuanya harus sepakat, Anda akan berakhir dengan pohon Natal yang berisi segalanya," kata seorang diplomat.