JENEWA - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (23/8) lalu memperingatkan bahwa kekejaman serupa terhadap Rohingya seperti yang terjadi pada 2017 bisa terulang. Mereka juga mengungkapkan kekhawatiran mendalam tentang krisis kemanusiaan yang tengah menghantam Negara Bagian Rakhine.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kemerosotan tajam situasi di Myanmar, terutama di Rakhine. Ia menyatakan bahwa ratusan warga sipil dilaporkan tewas saat berusaha melarikan diri dari kekacauanpertempuran.
Sejak pemberontak Tentara Arakan menyerang pasukan junta militer Myanmar pada November, Rakhine diguncang oleh serangkaian aksi bentrokan. Serangan tersebut mengakhiri gencatan senjata yang diberlakukan sejak kudeta militer pada 2021.
Turk menyalahkan kedua belah pihak atas pelanggaran terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan di luar hukum, penculikan, dan pengeboman kota-kota yang semena-mena.
Kelompok bersenjata etnis Arakan mengungkapkan bahwa mereka berusaha menguasai lebih banyak otonomi untuk penduduk etnis Rakhine di negara bagian tersebut, yang juga dihuni oleh sekitar 600.000 anggota minoritas Muslim Rohingya.
Pada 2017, ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine menyusul adanya tindakan represif pasukan militer. Tindakan tersebut kini menjadi fokus dalam kasus pengadilan genosida yang digelar PBB.
"Ribuan warga Rohingya terpaksa melarikan diri dengan berjalan kaki, sementara Tentara Arakan terus-menerus memindahkan mereka ke tempat-tempat yang tidak menyediakan perlindungan yang aman," kata Turk dalam sebuah pernyataan.
"Karena penyeberangan perbatasan ke Bangladesh tetap ditutup, anggota komunitas Rohingya terjebak di antara militer dan sekutunya serta Tentara Arakan, tanpa jalan menuju tempat yang aman," imbuh dia.
Saat ini, Bangladesh menampung sekitar satu juta pengungsi Rohingya.
"Bulan ini memperingati tujuh tahun sejak operasi militer yang memaksa 700.000 orang melintasi perbatasan ke Bangladesh. Meski dunia berjanji tidak akan pernah lagi terjadi, kita kembali menyaksikan pembunuhan, penghancuran, dan pengungsian di Rakhine," kata Turk.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan meminta semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk segera menghentikan kekerasan dan melindungi warga sipil. Ia juga mendesak dilakukannya peningkatan upaya perlindungan regional untuk memberikan akses kepada masyarakat yang terdampak konflik dan mendukung negara tuan rumah, khususnya Bangladesh.
Guterres pun menyatakan harapan untuk perdamaian yang langgeng dan rekonsiliasi nasional, yang merupakan langkah krusial untuk menciptakan kondisi yang mendukung pemulangan sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan bagi warga Rohingya ke Myanmar.
Tragedi Kemanusiaan
Turk mengatakan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata mengingkari tanggung jawab atas serangan terhadap Rohingya, yang telah melampaui batas kepercayaan.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang diterima, militer dan Tentara Arakan telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius serta penyiksaan terhadap Rohingya.
Pelanggaran HAM tersebut mencakup terjadinya pembunuhan yang menyalahi hukum, termasuk pemenggalan kepala, penculikan, perekrutan paksa, pengeboman yang dilakukan terhadap kota dan desa secara acak, serta pembakaran.
"Baik militer maupun Tentara Arakan bertanggung jawab langsung atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Rakhine," kata Turk seraya menegaskan bahwa kekejaman ini menuntut respons yang tegas dimana mereka yang bertanggung jawab harus dimintai pertanggungjawaban, dan keadilan harus ditegakkan tanpa henti. "Mencegah terulangnya kejahatan dan kekejaman di masa lalu adalah sebuah kewajiban moral dan kebutuhan hukum," imbuh dia.
Turk pun meminta kedua pihak untuk menghentikan serangan terhadap warga sipil dan mendesak Asean agar mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi Rohingya. AFP/I-1