MONTREAL - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, pada Selasa (6/12) mengecam perusahaan-perusahaan multinasional karena telah mengubah ekosistem dunia menjadi "permainan keuntungan" dan memperingatkan bahwa kegagalan untuk memperbaiki arah akan menyebabkan hasil bencana.

"Dengan nafsu makan kita yang tak berdasar untuk pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali dan tidak merata, umat manusia telah menjadi senjata kepunahan massal (bagi keanekaragaman hayati)," kata Sekjen Guterres dalam pidatonya menjelang perundingan keanekaragaman hayati di Montreal, Kanada.

Sejak menjabat pada 2017, Guterres, mantan Perdana Menteri Portugis, telah menjadikan perubahan iklim sebagai isu utamanya. Kecamannya yang berapi-api pada seremonial pembukaan konferensi, yang dikenal sebagai COP15, mengungkapkan bahwa penderitaan tumbuhan dan hewan yang terancam punah di planet ini sebagai krisis yang saling berhubungan dan hal itu amat mengusik hati nuraninya.

Sebelum Guterres naik ke mimbar, sekelompok pengunjuk rasa yang terdiri dari sekitar setengah lusin masyarakat adat, menyela pidato Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, yang menjadi tuan rumah COP15 bersama dengan Tiongkok. COP15 kali ini diketuai oleh Tiongkok, tetapi negara itu tidak menjadi tuan rumah pertemuan karena pandemi Covid-19.

Mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Genosida Pribumi = Ekosida" dan "Untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati, berhentilah menginvasi tanah kami," dan meneriakkan yel-yel selama beberapa menit sebelum mereka dikawal keluar, diiringi tepuk tangan meriah.

Dampak Kerugian

Pertemuan ini tak sama dengan serangkaian pembicaraan PBB lainnya awal bulan ini, yang membahas tentang iklim dan disebut COP27.

Hampir 200 delegasi negara telah berkumpul untuk pertemuan yang terselenggara mulai 7 hingga 19 Desember dalam upaya untuk mewujudkan "Perjanjian Paris" bagi alam.

"Kita memperlakukan alam seperti toilet," kata Guterres terus terang. "Dan pada akhirnya, kita melakukan bunuh diri dengan proksi," imbuh dia seraya menerangkan bahwa ancaman terhadap keanekaragaman hayati bisa berdampak pada lapangan pekerjaan, kelaparan, penyakit, dan kematian.

Sebelum perundingan COP15 ini, Elizabeth Mrema, kepala Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (CBD), mengatakan bahwa kegagalan bukanlah suatu pilihan. "Agar Perjanjian Paris berhasil, keanekaragaman hayati juga harus berhasil. Agar iklim berhasil, alam juga harus berhasil, dan itulah sebabnya kita harus menghadapinya bersama-sama," kata Mrema.

COP15 ini memiliki rancangan target untuk kerangka kerja 10 tahun termasuk menegakkan janji utama bagi melindungi 30 persen daratan dan lautan dunia pada 2030, menghilangkan subsidi perikanan dan pertanian yang berbahaya, mengatasi spesies invasif dan mengurangi pestisida.SB/AFP/I-1

Baca Juga: