NEW YORK - Sekitar 200 organisasi non-pemerintah termasuk Amnesty International dan Human Rights Watch, pada Rabu (5/5) menyerukan pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) agar menerapkan embargo senjata pada junta militer di Myanmar.

Seruan itu dilontarkan walau ada penolakan pemberian sanksi dari Tiongkok dan Russia, dua negara pemegang hak veto di DK PBB, terhadap Myanmar setelah negara yang dulu bernama Burma itu dilanda krisis selama berapa bulan lamanya.

"Tidak ada pemerintah yang boleh menjual satu peluru pun kepada junta yang berkuasa di Myanmar sejak 1 Februari lewat kudeta,'' demikian bunyi pernyataan bersama organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil dari seluruh dunia.

"Menerapkan embargo senjata global terhadap Myanmar adalah langkah minimum yang perlu diambil Dewan Keamanan PBB sebagai respons terhadap kekerasan militer yang meningkat," lanjut pernyataan bersama tersebut.

Sejak junta mengambil alih kekuasaan dengan menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, beberapa kelompok gagal menyerukan embargo senjata.

Pada Senin (3/5) lalu, utusan Tiongkok untuk PBB, Zhang Jun, kembali mengatakan kepada wartawan bahwa diplomasi harus terus dilakukan dan bahwa upaya kelompok negara regional Association of Southeast Asian Nations (Asean), di mana Myanmar turut bergabung, untuk menemukan solusi harus didukung.

"Kami tidak mendukung pemberian sanksi," kata Zhang.

Desakan Sanksi

Sementara itu menurut Lawrence Moss dari Amnesty International menyatakan bahwa kecaman belaka dari komunitas internasional tidak berpengaruh apa-apa (pada junta di Myanmar).

"Sudah waktunya bagi DK PBB untuk menggunakan kekuatan uniknya dengan menerapkan embargo senjata global yang komprehensif bagi mencoba dan mengakhiri pembunuhan besar-besaran oleh militer," kata Moss dalam sebuah pernyataan.

Sementara itu Louis Charbonneau dari Human Rights Watch dalam pernyataan terpisah mengatakan bahwa fakta jika DK PBB tak memperdebatkan embargo maka hal itu akan jadi pelepasan tanggung jawab yang mengerikan terhadap rakyat Myanmar.

"Pernyataan keprihatinan sesekali dari DK PBB dalam menanggapi penindasan dengan kekerasan oleh militer terhadap sebagian besar pengunjuk rasa damai secara diplomatik setara dengan mengangkat bahu dan sikap tak peduli lagi," tambah Charbonneau.

Sejak 1 Februari, DK PBB dengan suara bulat telah mengadopsi empat pernyataan tentang Myanmar. Akan tetapi setiap kali membuat pernyataan, aksi mereka surut dalam negosiasi terutama karena dipatahkan oleh Beijing.AFP/I-1

Baca Juga: