Perbankan dan perusahaan pembiayaan untuk lebih bertanggung jawab dalam menawarkan produk seperti BNPL.
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta tidak membuat aturan yang terlalu liberal (terbuka) terutama yang berkaitan partisipasi generasi muda dalam sistem pembayaran. Upaya membuat aturan yang terlalu longgar dengan maksud untuk memperdalam literasi, malah bisa berdampak pada upaya menggiring generasi muda lebih banyak belajar berutang, ketimbang mengajarkan mereka untuk kreatif dan produktif. Menanggapi melonjaknya pengguna layanan Buy Now Pay Later (BNPL) yang banyak ditawarkan pelaku jasa keuangan, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengakui kalau anak muda berpotensi terjebak dalam utang berlebihan (over-indebtedness) jika penggunaan BNPL tidak diawasi dengan lebih ketat.
"Kami meminta perbankan dan perusahaan pembiayaan untuk lebih bertanggung jawab dalam menawarkan produk seperti BNPL. Potensi utang yang terlalu besar bagi anak muda menjadi perhatian utama kami," ujar Friderica dalam keterangannya pada akhir pekan lalu. Fenomena itu juga menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan ahli ekonomi, termasuk Sekretaris Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) DIY, Y Sri Susilo. Menurutnya, salah satu akar permasalahan over-indebtedness di kalangan anak muda adalah rendahnya literasi keuangan dan kurangnya regulasi yang memadai terkait layanan keuangan berbasis kredit.
"Anak muda sering kali terjebak dalam utang karena minimnya pemahaman tentang manajemen keuangan. Literasi keuangan di Indonesia masih perlu ditingkatkan, terutama bagi generasi muda yang baru mengenal layanan seperti BNPL," kata Sri Susilo. Dia juga menyoroti beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah anak muda terjerumus dalam utang berlebihan. Salah satunya adalah dengan meningkatkan literasi keuangan sejak dini.
Negara-negara seperti Inggris dan Australia telah menunjukkan bahwa memasukkan edukasi keuangan dalam kurikulum sekolah dapat membantu masyarakat muda memahami risiko utang dan cara mengelola keuangan secara lebih bijak. Dia juga menyarankan agar regulasi lebih ketat diterapkan dalam penawaran BNPL. Ia mencontohkan pengalaman Swedia, di mana perusahaan diwajibkan untuk melakukan pengecekan kelayakan kredit secara menyeluruh sebelum menawarkan layanan BNPL.
"Ini bisa menjadi contoh yang diterapkan di Indonesia untuk memastikan anak muda tidak berutang di luar kemampuan mereka untuk membayar," lanjutnya. Ia juga meminta pembatasan suku bunga dan denda keterlambatan. Di beberapa negara seperti Jerman, suku bunga yang diterapkan untuk layanan BNPL diatur secara ketat, sehingga pengguna tidak terbebani dengan biaya tambahan yang berlebihan. Poin lainnya yang disampaikan Sri Susilo adalah pentingnya transparansi dalam penawaran layanan BNPL.
Ia menekankan bahwa pengguna, terutama anak muda, harus diberikan informasi yang jelas mengenai risiko yang mungkin mereka hadapi jika tidak mampu membayar tepat waktu. "Perusahaan harus lebih transparan dalam menjelaskan risiko dan dampak jangka panjang dari layanan ini. Konsumen berhak tahu apa yang mereka hadapi jika mereka mengambil kredit," tegasnya. OJK, paparnya, memiliki peran penting dalam mengawasi layanan keuangan seperti BNPL.
Peringatan OJK baru-baru ini diharapkan menjadi langkah awal untuk memastikan bahwa perusahaan pembiayaan lebih bertanggung jawab dalam menawarkan produk-produk kredit kepada anak muda. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan OJK harus tegas dengan regulasi yang memperketat sistem paylater ini, tidak hanya modal foto KTP sudah bisa dapat kredit," katanya. Selain itu, harus ada mitigasi risiko jika mereka terjebak paylater dengan sosialisasi lebih banyak ke kalangan gen z.
Tidak Berkualitas
Sementara itu, peneliti Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengatakan tidak bisa memungkiri kalau akses masyarakat ke pembiayaan perbankan masih sangat rendah dengan kebutuhan pembiayaan yang cukup tinggi. "Jika ini tanpa pengawasan dan semakin banyak yang menggunakan, maka pinjaman macet untuk usia di bawah 19 tahun akan semakin tinggi.
Ini berbahaya bagi ekosistem pinjaman daring ke depan karena borrower- nya semakin tidak berkualitas," tegas Huda. Pinjaman macet, katanya, akan didominasi oleh masyarakat usia muda ini. Pasalnya, pangsa pasarnya yang besar, proses pinjaman daring yang mudah, tapi kualitas calon borrower tidak dipersiapkan dengan baik. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan sebenarnya individu, keluarga atau institusi pada jaman modern ini banyak yang berutang.
Berutang sendiri bisa mempunyai perspektif positif atau negatif, tergantung pada penggunaan dan pengelolaannya. Berutang untuk tujuan yang produktif akan menghasilkan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk membayar pokok dan cicilannya, namun sering kali salah dalam pengelolaannya karena ekspektasi pendapatannya tidak sesuai dengan besarnya cicilan pokok dan bunganya, sehingga akibatnya kreditnya macet.
Sering kali faktor risiko juga kurang dipertimbangkan sehingga ketika risiko terjadi usahanya bangkrut dan kreditnya macet. Utang untuk konsumsi, inilah yang sering kali menyebabkan kredit macet, karena individu sering kali hanya berpikir konsumsi saat ini, tetapi lupa konsumsi saat ini didanai dengan utang. Akibatnya, pendapatannya periode berikutnya turun karena dipotong cicilan dan bunganya, padahal pengeluaran untuk kebutuhannya relatif tidak turun sehingga terpaksa menambah utang lagi," kata Suhartoko. Oleh karena itu, edukasi mengenai utang perlu dilakukan sejak dini, agar pengelolaan keuangan dan belanja menjadi lebih realistis sesuai pendapatan.