VATICAN CITY - Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, mengutuk negara-negara yang menjadi produsen senjata dan menyeludupkan senjata itu untuk dijual kepada teroris.

Paus melontarkan kritikan itu pada Rabu (10/3) waktu setempat, hanya selang beberapa hari usai kunjungannya ke Irak. Meski banyak mendapat peringatan sebelum kunjungannya ke Irak, dia mengaku bersyukur tetap bisa menjalankan kunjungan yang luput dari perhatian para pendahulunya.

Paus ke-266 itu menggambarkan perjalanan itu sebagai "tanda harapan setelah bertahun-tahun perang, terorisme, dan selama pandemi yang parah" bagi umat Kristen dan Muslim.

"Rakyat Irak memiliki hak untuk hidup damai. Mereka memiliki hak untuk menemukan kembali martabatnya," katanya dalam audiensi mingguan Vatikan, yang diadakan secara online karena Covid-19.

Setelah 18 tahun invasi Amerika Serikat ke Irak, negara Timur Tengah itu masih mengalami salah urus yang kronis diperparah dengan korupsi. Tingkat kekerasan di negera itu masih tinggi akibat insiden yang sering dikaitkan dengan persaingan antara Iran dan AS di wilayah itu.

"Dan saya bertanya pada diri sendiri (selama perjalanan), 'siapa yang menjual senjata kepada teroris?, siapa yang menjual senjata kepada teroris hari ini yang sedang melakukan pembantaian di tempat lain, misalnya di Afrika?'," katanya.

"Ini adalah pertanyaan yang saya ingin seseorang menjawabnya," tegas Paus.

Sebelumnya, Paus pernah berkata bahwa produsen senjata dan pedagang manusia harus bertanggung jawab kepada Tuhan suatu hari nanti. Menurutnya, dia merasa terdorong untuk melakukan kunjungan ke Irak. Vatikan memberlakukan keamanan paling ketat yang pernah ada untuk perjalanan kepausan ini.

Paus menggambarkan pertemuannya dengan Ayatollah Ali al-Sistani pada Sabtu di Kota Suci Najaf, sebagai pengalaman yang "tak terlupakan". Bersama salah satu tokoh paling berpengaruh dalam Islam Syiah, baik di Irak maupun di luar tersebut, Paus menyerukan persaudaraan di seluruh dunia.

Komunitas Kristen Irak, salah satu yang tertua di dunia, jumlahnya turun menjadi sekitar 300.000 dari sekitar 1,5 juta sebelum invasi AS dan kekerasan militan Islam yang mengikutinya.

Beberapa jam setelah Paus pergi pada Senin (8/3), Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi, mendesak kelompok politik yang bersaing menggunakan dialog untuk menyelesaikan perbedaan mereka.

n SB/AFP/P-4

Baca Juga: