VATIKAN - Pemimpin Gereja Katolik Seluruh Dunia, Paus Fransiskus, pada hari Rabu (20/3), mengeluarkan seruan baru untuk perdamaian ketika ia menyesalkan konflik berdarah di Ukraina dan Gaza. Paus membatasi pidato publiknya pada audiensi mingguannya di Lapangan Santo Petrus karena masalah kesehatannya.

"Kita tidak boleh lupa bahwa perang selalu merupakan kekalahan. Kita tidak bisa melanjutkan perang. Kita harus melakukan segala upaya untuk menengahi, merundingkan diakhirinya perang. Mari kita berdoa untuk ini," kata Paus dalam sambutan singkatnya.

Dikutip dari The Straits Times, Paus yang berusia 87 tahun, yang memiliki masalah mobilitas serta menderita pilek dan bronkitis dalam beberapa minggu terakhir, sekali lagi melewatkan membaca sebagian besar teks yang telah disiapkannya untuk umat yang hadir.

Paus Fransiskus mendelegasikan tugas tersebut kepada seorang ajudannya, dan mengatakan kepada umat bahwa dia masih terpaksa membatasi pidatonya di depan umum.

Pada awal bulan ini, Paus Fransiskus menimbulkan kontroversi dalam sebuah wawancara dengan stasiun penyiaran Swiss RSI dengan menyarankan bahwa Ukraina harus berani mengangkat bendera putih dan membuka pembicaraan dengan Russia. Wakilnya, Kardinal Pietro Parolin, kemudian mengklarifikasi bahwa Russia harus menghentikan agresinya terlebih dahulu.

Perselisihan Mereda

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, pada Kamis, mengatakan perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas sangat mungkin tercapai dan perselisihan semakin mereda saat pembicaraan di Qatar berlanjut.

"Ini semakin dekat. Saya rasa perselisihan mereda, dan saya rasa perjanjian sangat mungkin terjadi," ujar Blinken dalam wawancara dengan kanal Al-Hadath Saudi selama kunjungannya di Jeddah, Arab Saudi.

"Kami bekerja keras bersama Qatar, Mesir, dan Israel untuk mengajukan usulan yang bagus di atas meja. Kami melakukan itu. Hamas tidak mau menerimanya. Mereka kembali dengan permintaan lain, tuntutan lain. Para negosiator sedang mengerjakan hal itu sekarang. Tapi, saya yakin hal ini bisa dilakukan dan sangat diperlukan," katanya.

"Jika Hamas peduli terhadap orang-orang yang diwakilinya, mereka akan mencapai kesepakatan," tambah Blinken.

Perjanjian seperti itu, menurut Blinken, akan memiliki efek langsung dari gencatan senjata, meringankan penderitaan banyak orang, mendatangkan banyak bantuan kemanusiaan, dan kemudian memberi mereka kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bertahan lama.

Blinken mengunjungi Timur Tengah keenam kalinya sejak 7 Oktober ketika pembicaraan berjalan untuk mencapai perjanjian gencatan senjata sementara yang mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan pembebasan tahanan Palestina.

Blinken tiba di Arab Saudi pada Rabu, di mana dia bertemu Menlu Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, untuk membahas pentingnya gencatan senjata segera di Jalur Gaza dan situasi di Kota Rafah, yang diancam Israel akan diserang meskipun ada peringatan internasional.

Kementerian Luar Negeri AS mengatakan Blinken akan mengunjungi Mesir setelah Arab Saudi untuk melakukan pembicaraan dengan pemimpin negara itu dan tiba di Israel pada Jumat.

Perjalanannya di wilayah itu bersamaan dengan peluncuran perundingan baru yang dimediasi oleh Mesir, Qatar, dan AS untuk membantu mencapai kesepakatan antara kelompok Palestina Hamas dan Israel guna memastikan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.

Baca Juga: