Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengumumkan soal kepatuhan penyelenggara negara, khususnya para anggota DPR dalam melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Hingga Selasa (26/3), berdasarkan data Direktorat Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) baru 111 anggota DPR yang menyampaikan LHKPN. Padahal, batas waktu pelaporan 31 Maret 2019.

Selain DPR, anggota DPRD tingkat kabupaten/kota dan provinsi juga masih rendah tingkat kepatuhannya melaporkan harta kekayaannya. Dari 16.310 anggota DPRD yang wajib lapor, hanya 1.665 anggota DPRD yang melaporkan hartanya. Untuk unsur DPD, dari 136 anggota, baru 82 anggota atau 60,29 persen yang melaporkan.

Lalu, hanya satu dari dua pimpinan MPR yang sudah melaporkan harta kekayaannya. Sementara itu, dari unsur eksekutif, dari total 260.460 wajib lapor, baru 48.294 atau 18,54 persen yang melaporkan. Sedangkan unsur yudikatif, dari total 23.855 wajib lapor, baru 3.129 pejabat atau 13,12 persen yang menyerahkan laporan hartanya ke KPK. Kemudian, baru 5.387 orang (19,34 persen) dari total 27.855 wajib lapor unsur BUMN/BUMD yang melapor ke KPK.

KPK juga mengungkapkan, dari 329.142 pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta BUMD/BUMN, hanya 17,8 persen atau 58.598 pejabat melaporkan hartanya. Sisanya, 270.544 pejabat belum menyerahkan. Penyelenggara negara di berbagai cabang kekuasan memang harus melaporkan harta kekayaan.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

Regulasi mengenai kewajiban melaporkan harta kekayaan sudah jelas, begitu juga sanksinya bagi penyelenggara negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN. Ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Maka berdasarkan Pasal 20 UU yang sama akan dikenakan sanksi administratif.

Tapi kenyataanya, banyak, bahkan banyak sekali penyelenggara negara abai dan tidak mau melaporkan harta kekayaannya. Pertanyaannya ada apa? Mengapa? Patut diduga, selain persoalan teknis melaporkan, banyak penyelenggara negara berusaha menyembunyikan hartanya. Entah karena dicurigai diperoleh dari praktik kolutif maupun cara-cara lain yang tak patut.

Karena itu, kita terus mengimbau agar penyelenggara negara segera menyerahkan harta. Selain memenuhi kewajiban UU, juga membuktikan mereka patuh dan mendapat harta kekayaan secara wajar. Jika seluruh harta diperoleh dengan wajar dan baik, tidak ada alasan takut melaporkan.

Mengapa kita terus mendorong patuh melaporkan harta ini sangat penting karena bisa mencegah praktik kotor korupsi menumpuk harta kekayaan seperti banyak dilakukan para penyelenggara negara. Mereka terbukti terjaring operasi tangkap tangan.

Dengan demikian, hubungan antara pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara dan pencegahan korupsi sangat tinggi. Apalagi salah satu masalah krusial bangsa adalah perilku koruptif yang merajalela di semua lini kehidupan dan sulit diberantas. Jika saja faktor penyakit bangsa ini bisa diselesaikan, dapat menghemat uang negara yang sangat besar. Bangsa mampu meningkatkan pembangunan manusia dan sektor lainnya untuk mencapai kemajuan.

Baca Juga: