Keberadaan virus sepertinya tetap menimulkan pertanyaan. Apakah dia terus bermutasi, sehingga tidak musnah sama sekali. Selain itu, menurut seorang profesor di Departemen Kedokteran Universitas California, San Diego, Joel Wertheim, tetap saja sangat sulit untuk mengatakan virus yang menyebabkan evolusi ini juga merupakan virus korona.
"Tetapi, tampaknya teori bekerja masuk akal," kata Wertheim kepada Live Science. Sedangkan asisten profesor ekologi dan evolusi Universitas Arizona, AS, David Enard, setuju bahwa patogen kuno yang menjangkiti nenek moyang kita mungkin bukan virus korona. Sebaliknya, itu mungkin jenis virus lain yang kebetulan berinteraksi dengan sel manusia, dengan cara yang sama seperti dilakukan oleh virus korona.
Kelompok peneliti lain baru-baru ini menemukan bahwa sarbecovirus, keluarga virus korona yang mencakup SARS-CoV-2, pertama kali berevolusi 23.500 tahun lalu. Ini sekitar waktu yang sama dengan varian gen yang mengode protein terkait virus korona pertama kali muncul pada manusia.
Temuan sarbecovirus juga diposting sebagai pracetak di bioRxiv, pada 9 Februari, juga belum ditinjau sejawat. "Studi kedua itu memberikan konfirmasi yang 'rapi' untuk keseluruhan cerita," kata Enard. Menurut Enard, meskipun temuan ini menarik, mereka tidak mengubah pemahaman kita tentang populasi mana yang lebih baik dalam bertahan dari infeksi SARS-CoV-2.
Tidak ada bukti bahwa adaptasi gen purba ini membantu melindungi orang modern dari SARS-CoV-2. "Nyatanya, hampir tidak mungkin membuat klaim seperti ini," kata Enard. Sebaliknya, faktor sosial dan ekonomi, seperti akses ke perawatan kesehatan, kemungkinan memainkan peran yang jauh lebih besar daripada gen yang terkena Covid-19, tambahnya.
Enard dan timnya sekarang berharap dapat bekerja sama dengan ahli virus untuk memahami bagaimana adaptasi ini membantu manusia purba bertahan dari paparan virus korona purba. Tim juga berharap bahwa pada akhirnya studi genom kuno tersebut dapat digunakan sebagai "sistem peringatan dini" untuk pandemi di masa depan.
Misalnya, peneliti pertama-tama dapat menyurvei virus di alam liar yang belum menginfeksi manusia. Kemudian mencari sidik jarinya di DNA manusia. Jika mereka menemukan bahwa virus telah menyebabkan banyak epidemi kuno, itu bisa menjadi alasan yang baik untuk terus mengawasinya.
"Meskipun kita melihat sekilas dampak virus kuno ini pada nenek moyang manusia, generasi mendatang kemungkinan besar tidak akan dapat melihat jejak SARS-CoV-2 di genom kita," tambah Enard. Berkat vaksinasi, virus tidak akan punya waktu untuk mendorong adaptasi evolusioner. wid/livescience/G-1

Baca Juga: