JAKARTA - Momentum pemulihan pascaCovid-19 waktu yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur nasional. Indonesia masih luput dari ancaman deinsdustrialisasi karena inflasi yang rendah serta masih stabilnya nilai tukar.

Rektor Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung Prof Rina Indiastuti mengatakan, momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 menjadi waktu yang tepat untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur.

"Momentum pemulihan pascaCovid-19 sekarang ini merupakan cara atau ajang untuk mendorong pertumbuhan industri manufaktur lebih tinggi dari nasional," katanya dalam diskusi daring bertajuk "Industrialisasi sebagai Penggerak Perekonomian Nasional bersama forum wartawan industri di Jakarta, Senin (7/8).

Rina menjelaskan sejumlah strategi yang bisa digunakan untuk mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur, di antaranya dengan mengeksplorasi cabang-cabang industri manufaktur.

Selama ini Indonesia masih fokus pada industri di subsektor-subsektor lama yang hanya fokus pada sumber daya alam (SDA). Menurut Rina, Indonesia harus bisa mulai mengeksplorasi sektor-sektor industri yang bisa mendorong industri manufaktur lainnya sehingga saling terkait.

"Kita masih bermain lama di industri karet, kertas. Kita juga kuat di elektronik, transportasi (otomotif), itu basisnya teknologi dan ekspor. Tetapi kita masih mengandalkan industri yang dari dulu berperan, padahal cabang industri manufaktur begitu banyak. Barangkali mari kita mulai menyiapkan cabang-cabang lain," katanya.

Rina mengatakan industri yang telah tumbuh baik perlu didorong untuk bisa meningkatkan ekspor dan melakukan penetrasi yang lebih intens ke pasar domestik.

Selain itu, ia juga menyinggung perlunya adopsi teknologi sesuai karakteristik industri. Ia mendorong pemangku kepentingan terkait, dari pemerintah hingga perguruan tinggi, untuk mulai memikirkan soal memilih dan mengadopsi teknologi yang tidak hanya memberi nilai tambah tinggi tapi juga sesuai dengan kebutuhan dan tren industri saat ini, termasuk tren industri hijau.

"Penelitian di kami menyatakan kalau ekspor industri manufaktur ingin tidak decline (menurun), ternyata yang penting bukan hanya masalah global value chain tapi juga faktor kelembagaan. Jadi bagaimana sinergi antarsektor membuahkan biaya yang rendah bagi industri," ungkap Rina.

Peneliti LPEM UI dan Tenaga Ahli Menkeu Kiki Verico mengulas RI yang terhindar dari ancaman deindustrialisasi. Soal dominasi berbagai produk asal Tiongkok membuat industri di banyak negara kian terpengaruh.

Faktanya, produk buatan Tiongkok tersebut banyak dijual lebih murah ketimbang produk buatan dalam negeri suatu negara.

Kondisi ini bisa menciptakan deindustrialisasi sektor manufaktur. Deindustrialisasi merupakan kondisi dimana industri tidak dapat berperan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Ia mengatakan, sejarah deindustrialisasi pertama kali terjadi saat Amerika Serikat menguasai industri dunia setelah perang dunia ke-2, kemudian kalah dengan Jepang.

"Bukan hanya Amerika, tetapi jam merek Swiss juga dikalahkan Casio dari Jepang. Kemudian sepeda motor, dulu itu yang menjadi penguasa dunia Inggris, di tahun 1970-an kemudian diambil alih Jepang, lalu mesin fotokopi, alat musik itu juga dikuasai Jepang semua," kata Kiki dalam diskusi yang sama

Kondisi Jepang di era 1970-an tersebut juga terjadi terhadap Tiongkok saat ini, dimana produk Tiongkok banyak menguasai banyak sektor.

Kondisi deindustrialisasi yang saat ini terjadi terlihat dari Amerika Serikat. Ekonomi Negeri Paman Sam overhead atau panas, karena inflasi tinggi dan fiscal balance-nya defisit, artinya negaranya sedang susah.

Lalu pertanyaannya, apakah kondisi di Amerika Serikat juga dirasakan di Indonesia?

"Jawabannya tidak. Inflasi Indonesia rendah, nilai tukar rupiah masih stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun 5 persen, tetapi itu lebih tinggi daripada inflasinya," kata Kiki.

"Jadi ekonominya resilience, buktinya ketika pandemi tidak ada masalah apa-apa."

"Jadi tidak ada cara untuk mendefinisikan Indonesia untuk deindustrialisasi, karena market domestic-nya oke," jelas Kiki.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan kondisi produk Indonesia yang kalah dari Tiongkok?

"Itu karena transformasi, itu isu utamanya, bukan deindustrialisasi. Kita harus mentransfer ekonomi Indonesia, misalnya produk paling besar di dunia seperti elektronik, elektrik dan otomotif.Otomotif kita ini lumayan, tetapi elektroniknya belum. Itu yang akan kita dorong, dan itu namanya transformasi," terangnya.

Baca Juga: