» Indonesia dalam pasar karbon harus konsisten menjalankan kebijakan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

» Rencana pemerintah mengenalkan mekanisme pasar karbon kepada dunia lebih didasari pertimbangan ekonomi.

JAKARTA - Niat pemerintah memperkenalkan pasar karbon kepada dunia setelah mendapat persetujuan dari parlemen dinilai sebagai langkah positif untuk menekan efek gas rumah kaca (GRK). Namun, niat tersebut dinilai perlu dikebut dengan aturan-aturan dan target yang jelas.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, di Jakarta, Minggu (3/10), mengatakan sebenarnya sudah banyak negara di dunia yang menerapkan carbon pricing dalam bentuk pajak karbon atau nilai karbon mekanisme pasar/emissio dengan skema perdagangan.

"Indonesia relatif terlambat, dasar hukum penerapan nilai ekonomi karbon baru disusun dan belum tahu kapan mulai diimplementasikan," kata Fabby.

Pemerintah sendiri masih perlu banyak persiapan dalam pemberlakuan nilai ekonomi karbon. Persiapan itu mulai dari sektor yang ditargetkan, penetapan mekanisme yang sesuai, harga pajak karbon atau floor price untuk perdagangan karbon, tahap pelaksanaan dan estimasi penurunan emisi karbon dari penerapan instrumen itu.

"Apa yang disampaikan Menteri Keuangan cukup positif, tapi perlu diingat, pelaksanaannya yang penting. Saya kira kalau persiapan mulai dilakukan tahun ini, baru 2-3 tahun mendatang mekanisme nilai ekonomi karbon baru bisa diterapkan," katanya.

Selain itu, pajak karbon, jelasnya, jangan hanya dipandang sebagai sumber penerimaan negara, tetapi harus diingat bahwa instrumen itu sebagai alat kebijakan (policy tool) untuk mendorong transformasi ekonomi hijau dan transisi energi.

Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Yohanes Suhartoko, mengatakan Indonesia sebagai pemilik hutan tropis yang luas, mempunyai potensi sebagai suplier oksigen dunia yang bisa mengurangi emisi karbon dunia.

Sebagai suplier oksigen tentu akan menguntungkan Indonesia dan dunia, karena ada tuntutan dari masyarakat global akan pentingnya energi hijau guna memerangi polusi udara akibat pemanfaatan energi fosil yang kotor.

"Ada dua keuntungan yang bisa diraih, di antaranya hutan tropis Indonesia akan semakin lestari karena ada dana pembiayaannya. Keuntungan lainnya, skema utang luar negeri Indonesia yang dikaitkan dengan penawaran oksigen bisa lebih murah. Namun demikian, masuknya Indonesia dalam pasar karbon harus dibarengi konsistensi Indonesia menjalankan kebijakan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," kata Suhartoko.

Kalau Indonesia sungguh-sungguh masuk pasar karbon maka harus dimulai dari dalam negeri terlebih dahulu. "Kalau kita masuk pasar karbon konsekuensi kita harus green economy," tegas Suhartoko.

Perubahan Iklim

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, secara terpisah mengatakan jika pasar karbon bisa diwujudkan maka berdampak positif bagi lingkungan di Indonesia dan global.

"Pasar karbon diharapkan bisa mengurangi emisi di Indonesia. Apalagi itu juga merupakan komitmen Indonesia terkait perubahan iklim global," kata Esther.

Benefit lainnya, lanjut Esther, adalah menambah penerimaan negara melalui pajak karbon. Oleh karena itu, perlu ditentukan bagaimana menghitung nilai ekonomi karbon.

Hal itu perlu dilakukan karena Indonesia mempunyai komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC) berdasarkan Perjanjian Paris 2015.

Dalam NDC disebutkan target penurunan emisi GRK adalah 29 persen melalui skema unconditional atau business as usual (BAU), atau 41 persen dengan bantuan internasional.

"Jadi, harus ditentukan aturan main yang jelas melalui regulasi yang pasti dan jelas, agar program ini membawa dampak positif pada perubahan iklim di Indonesia dan global melalui pengurangan emisi," tegas Esther.

Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan rencana pemerintah mengenalkan mekanisme pasar karbon kepada dunia lebih didasari pertimbangan ekonomi.

"Capaian penurunan emisi GRK sejatinya adalah pemenuhan target emisi, utamanya sektor energi," kata Bambang.

Pada semester I tahun ini, pemerintah sebenarnya sudah melakukan uji jual beli karbon pada subsektor ketenagalistrikan dengan target pemangkasan emisi karbon atau GRK berkisar 314-398 juta ton pada 2030.

Baca Juga: