Sebelum dijual ke korporasi, lahan terlebih dahulu dibakar demi mendapatkan keuntungan lebih besar.

JAKARTA - Pemerintah daerah (pemda) diminta segera menyusun peraturan daerah (perda) untuk mencegah kebakaran hutan sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden 11/2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Hal itu dimaksudkan supaya pemda tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat sehingga daerah harus terlibat aktif, termasuk dengan menyiapkan anggarannya.

Pakar Kehutanan dari Center of Internasional Forestry Research, Herry Poernomo, menyebutkan saat ini jumlah daerah yang menyusun perda untuk mencegah kebakaran hutan masih sangat sedikit. "Yang ada baru Jambi, sementara Riau masih dalam proses. Praktis baru dua daerah itu, yang lainnya belum. Padahal, banyak daerah yang rentan kebakaran," tegasnya dalam diskusi menyoal kebakaran lahan, di Jakarta, Selasa (12/9).

Herry menegaskan daerah tidak bisa hanya mengandalkan Jakarta atau pemerintah pusat untuk mencegah atau mengatasi kebakaran hutan. Pasalnya, kurang berjalannya program pemerintah pusat dalam mengatasi kebakaran karena lemahnya eksekusi di daerah.

Artinya, peran daerah sangat penting untuk mengimplementasikan grand design dalam mengendalikan kebakaran lahan. Percuma pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), bila daerah tidak aktif.

Keterlibatan daerah akan sangat efektif untuk menekan kerugian ekonomi dan ekologis di daerah. Soalnya, berdasarkan studinya kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kebakaran dan kabut asap pada 2015 mencapai sekitar 270 trilliun rupiah. Nilai kerugian itu lebih besar dari temuan bank dunia yang sekitar 230 trilliun rupiah.

Kebakaran dan kabut asap pada 2015 mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, 43 juta orang terpapar, 2,6 juta hektare lahan terbakar. Di sisi lain, ada setengah juta orang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) serta mengakibatkan 103 ribu orang alami kematian dini.

Menurut Herry, beruntung saat ini kebakaran tengah berkurang sehingga masih kesempatan bagi daerah untuk menyiapkan perda-perda. Dia menambahkan perda lebih mengikat ketimbang peraturan gubernur karena melalui perda ada anggaran yang disiapkan oleh daerah. Dalam perda tentu ada pembahasan insentif bagi masyarakat yang tidak membakar hutan.

Selama ini, insentif itulah yang masih sangat minim, termasuk bagaimana menggunakan teknologi tanpa harus membakar. Dampaknya, masyarakat tidak merasa sebagai bagian dari negara atau daerahnya. Akhirnya hanya ada dua pilihan, menjual lahan terhadap korporasi atau membakarnya untuk pemanfaatan lahan pertanian.

Tidak sedikit masyarakat menjual lahannya ke korporasi. Dengan motivasi ekonomi, sebelum menjual, lahan tersebut terlebih dahulu dibakar. Sebab, penjualan lahan setelah dibakar akan mendatangkan keuntungan besar. Harga lahan setelah dibakar akan melonjak menjadi sekitar 8,5 juta rupiah per hektare, bandingkan dengan menjualnya sebelum dibakar, harganya hanya sekitar 3 juta rupiah per hektare.

Politik Lahan

Legal Research and Campaigner AURIGIA Nusantara, Syahrul Fitra, mengatakan kebakaran hutan dan lahan di daerah sangat erat kaitannya dengan praktik politik lahan. Pejabat di daerah kerap membagi lahan ilegal sehingga perizinan sering keluar jelang pilkada.

"Ini sangat rentan terjadi di daerah. Terbukti beberapa kepala daerah sudah jadi narapidana kasus pemberian izin di sektor kehutanan," paparnya.

Dijelaskannya, praktik politik lahan ini sangat luas jangkauannya, bahkan sampai di level pusat.ers/E-10

Baca Juga: