Judul : Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional
Penulis : Geger Riyanto
Penerbit : Basa-basi
Terbit : Februari 2018
Tebal : 352 Halaman
ISBN : 978-602-6651-81-5

Buku ini berisi kumpulan tulisan. Salah satu esainya dijadikan judul buku: Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional. Keseluruhan isi menggambarkan sosial-politik negeri ini. Para pembaca dibawa dalam masa lalu yang menakutkan dan kebijakan-kebijakan sekarang yang patut dikoreksi.

Keadaan partai politik (parpol) dikritik karena hanya diisi dinasti-dinasti keluarga. Parpol tidak berjalan sesuai dengan tujuan awalnya. Saat ini, parpol seperti ada dan tiada, timbul tenggelam, datang dan pergi. Parpol ada dan hadir sering kali hanya pada menjelang hajatan demokrasi seperti pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, atau pemilihan kepala daerah.

Selebihnya seperti lenyap ditelan bumi. Kelak muncul lagi ketika ada anggotanya yang terjerat kasus korupsi. Di parlemen, parpol muncul ketika anggotanya melanggar etika atau terlibat keributan saat membahas rancangan undang-undang. Mestinya, parpol hadir dalam segala situasi keadaan negeri. Bahkan, mereka harus mendidik politik anggota dan masyarakat. Mereka menciptakan iklim persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat.

Kini, parpol layaknya sebuah sistem monarki dalam naungan demokrasi. Situasi dalam negeri yang dulu sangat bergantung pada kekuasaan seorang raja, kini pada kekuatan dan kekuasaan seorang ketua partai. Dia bisa menciptakan suasana kondusif dan sebaliknya, tergantung kepentingan.

Beberapa partai terang-terangan mendirikan kerajaan dalam parpol. Orang-orang terdekat merapat dan menjadi pengurus. Ini memperlihatkan seakan tidak ada pemimpin di luar kerabat. Ironinya, mereka menciptakan kerajaan dalam naungan sistem demokrasi.

DPR periode 2014-2019 sejak awal didesain menjadi wadah pertemuan keluarga. Prananda Paloh, anak Surya Paloh, adalah caleg di Dapil Sumatera Utara I. Ahmad Hanafi Rais, anak Amien Rais, maju di Dapil DI Yogyakarta. Ibas bernomor urut satu Dapil Jawa Timur VII. Semua nama ini punya satu kesamaan. Mereka ditempatkan sebagai caleg nomor urut pertama di daerah pemilihan. Semua, kendati katanya nomor urut tak berpengaruh pada keterpilihan, kini duduk di kursi DPR (halaman 48-49).

Bangsa bukankah telah meninggalkan sistem monarki dan menjalankan proses demokrasi? Namun masyarakat juga telah menciptakan paradigma dan filosofi baru bernama republik-monarki. Di mana setiap orang atau kader partai boleh berbicara apa saja dan bebas melakukan apa saja. Tetapi kalau sang ketua partai sudah memerintahkan agar diam, tak ada yang berani berkata-kata.

Rakyat cenderung memilih orang parpol yang sudah familier dan sering wira-wiri di layar televisi sebagai bintang film, iklan, atau lainnya. Sang artis yang sudah populer pun tidak perlu pusing masuk parpol. Mereka tidak perlu susah belajar politik, berparlemen, atau manajemen kekuasaan. Mereka cukup bermodal popularitas.

Selain parpol seperti dinasti di dalam demokrasi, politik identitas semakin berkembang. Bahkan dia dijadikan senjata beberapa penguasa untuk mendapatkan keinginan. Tidak jarang, politik identitas berakhir buruk bagi segelintir orang. Komunitas, etnis, dan agama menjadi lading empuk ujaran-ujaran kebencian. Bila politik keluarga di dalam parpol dan identitas tidak disadari, negara ini akan mudah melahirkan KKN serta konflik SARA.

Diresensi Novita Ayu Dewanti, Mahasiswi S2 di UNY

Baca Juga: