Partai oposisi utama di Thailand sepakat untuk berkoalisi agar bisa mengamankan mayoritas parlemen setelah analis mengatakan oposisi masih jauh dari kepastian untuk dapat mengambil alih kekuasaan.

BANGKOK - Dua partai oposisi terbesar Thailand pada Senin (15/5) lalu sepakat untuk berkoalisi setelah mereka berhasil mengalahkan dengan telak partai-partai promiliter dalam pemilu yang digelar Minggu (14/5). Mereka mau berkoalisi setelah para analis politik mengatakan oposisi masih jauh dari kepastian untuk dapat mengambil alih kekuasaan.

Pada pemilu Minggu, Partai Move Forward (MFP) yang progresif, memenangkan jumlah kursi tertinggi, mengalahkan Pheu Thai, partai yang dibentuk keluarga Shinawatra yang lebih disukai.

Karena kedua partai oposisi itu tetap tidak berhasil meraih mayoritas parlemen, maka mereka akan membutuhkan dukungan dari beberapa partai kecil dan beberapa senator untuk mengatasi aturan pemilihan yang diabadikan dalam konstitusi yang menurut para kritikus memberikan keunggulan kepada blok penguasa yang didukung militer dalam membentuk pemerintahan.

Saat berbicara pada hari, Pita Limjaroenrat, 42 tahun, pemimpin MFP mengatakan bahwa ia telah mengundang lima partai oposisi untuk membentuk koalisi, termasuk Pheu Thai, dan dia siap menjadi perdana menteri.

Keenam partai bersama-sama dapat mengumpulkan sekitar 309 dari 500 kursi di majelis rendah Parlemen, kata dia, dan jumlah itu jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk memerintah di legislatif bikameral.

Pita mengatakan ia tak khawatir, tetapi juga tidak ceroboh tentang kekuatan termasuk di Senat majelis tinggi yang mungkin mencoba menghalangi.

"Akan menjadi harga yang sangat mahal untuk membayar seseorang yang berpikir untuk menghapus hasil pemilu atau membentuk pemerintahan minoritas," kata Pita.

Untuk meminimalkan risiko ekonomi dan politik, tim transisi akan dibentuk untuk memastikan pemerintahan baru sesegera mungkin, kata Pita.

Sementara itu siapa yang bakal jadi perdana menteri Thailand berikutnya mungkin tidak diketahui namanya sampai beberapa pekan atau bulan setelah pemilu, karena sistem pemilu Thailand memungkinkan hingga 60 hari untuk merilis hasil resmi, dan parlemen bersidang dua pekan kemudian untuk memilih pemimpin negara.

Mandat

Partai Palang Pracharath yang berkuasa dan Partai Persatuan Bangsa Thailand dikalahkan dalam pemilu Minggu lalu. Bagi banyak warga Thailand, pertanyaannya sekarang adalah apakah pihak yang didukung militer akan menerima mandat oposisi.

Setelah berkuasa dalam kudeta 2014, dan sebelum pemilihan umum 2019, junta yang dipimpin oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha telah mengubah konstitusi negara untuk mengizinkan 250 senator yang ditunjuk oleh partai yang berkuasa untuk memilih perdana menteri berikutnya. Akibatnya, sebuah partai harus mampu memenangkan setidaknya 376 kursi dari 750 kursi untuk mengamankan mayoritas di kedua majelis.

Para ahli mengatakan beberapa janji kampanye liberal MFP, termasuk reformasi konstitusi, dan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan Thailand (lese-majeste), dapat menjadi masalah bagi para senator yang berpikiran konservatif. Mengubah lese-majeste sendiri dapat memecah belah bahkan di dalam koalisi oposisi.

Di sisi lain, kemenangan oposisi pada pemilu lalu mengisyaratkan keinginan tidak hanya untuk perubahan pemerintahan, tetapi juga reformasi politik di Thailand setelah hampir dua dekade dominasi militer yang mencakup dua kudeta pada 2006 dan 2014. RFA/I-1

Baca Juga: