Perhatian masyarakat dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2019 lebih mengarah terhadap Pemilihan Presiden (Pilpres) dibandingkan dengan Pemilihan Legislatif (Pileg). Hal ini mengkhawatirkan beberapa partai politik, terutama yang bukan merupakan partai asal pasangan calon presiden-wakil presiden.

Partai politik berusaha untuk menjaga eksistensinya di parlemen dengan merebut kursi yang pada Pemilu 2019 memiliki ambang batas suara sebesar 4 persen, sehingga ada beberapa partai yang kemudian mendahulukan kepentingan Pileg dibanding Pilpres.

Untuk mengupas hal itu lebih lanjut, Koran Jakarta mewawancarai Pengamat Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, di Jakarta, Rabu (21/11). Berikut hasil pembahasannya.

Bagaimana pendapat Anda tentang kekuatan koalisi menjelang pemilu?

Kalau saya lihat kekuatan koalisinya dari kubu Jokowi-Ma'ruf itu relatif masing-masing partai ini memiliki kepentingan untuk menonjolkan diri serta secara antusias terlibat dalam kampanye tersebut. Artinya, ada peran-peran dari masing-masing pihak itu relatif lebih merata. Baik misalnya partai-partai yang memiliki posisi politik yang kuat, misalnya seperti PDI-P, PKB, Partai Golkar, dan lain-lain. Demikian juga dengan partai-partai baru, seperti Perindo dan PSI. Sementara kalau di kubu Prabowo-Sandiaga, kelihatan yang kuat dari Gerindra, sementara partai yang lain misalnya Partai Demokrat itu kelihatan tidak antusias dalam mendukung salah satu calon. Demikian juga PAN yang kelihatan belum total dalam mendukung, seperti yang kita lihat tidak bisa dilepaskan misalnya dari Capres, Cawapres, juga kemudian ketua tim pemenangan semuanya dari Gerindra.

Lalu, bagaimana dengan efek ekor jas?

Nah, di situ kelihatannya bahwa efek ekor jas di dalam kubu Prabowo itu lebih didapatkan oleh Gerindra daripada partai-partai yang lain. Sementara kalau di kubu Jokowi itu relatif masing-masing bisa memberikan kontribusi, sehingga efeknya bisa lebih terasa. Namun, perlu adanya evaluasi kubu Jokowi mengenai peran dari kalangan relawan nonpartai yang masih belum terlihat pas. Padahal, kalau kita lihat kekuatan dari kubu Jokowi di 2014 jelas dari relawan yang mendorong pada aktivitas politik dan aktivitas kesukarelaan, sehingga berindikasi besar pemenangan di 2014. Sayangnya, dalam Pilpres kali ini peran itu masih belum terlihat.

Kemudian, bagaimana dengan parpol yang mementingkan pileg?

Saya berpikir bahwa kalau kita lihat dari perkembangan pilpres saat ini, perhatian publik lebih cenderung terhadap pilpres, sementara baik pemberitaan atau diskusi publik di media relatif sedikit berbicara mengenai pileg. Menurut saya, partai yang tidak memberikan perhatian lebih pada pilpres dan hanya peduli pada pileg itu berisiko akan kehilangan kesempatan memperoleh panggung dalam momen elektoral. Selain itu, akan berisiko kehilangan suara karena secara bicara politik itu bagaimana bicara perhatian dari bukti dukungan terhadap pilpres.

Bukankah banyak yang mengejar parliamentary threshold?

Saya pikir ini sebetulnya lebih kepada seperti target dari masingmasing partai untuk mengejar ambang batas parlementer. Tapi yang harus diketahui adalah bahwa justru bahwa ketika partai-partai itu tidak menggunakan kesempatan pilpres untuk memunculkan sosok calon-calon legislatifnya tentu lebih berisiko untuk kehilangan suara. Hal itu karena saya perhatikan bahwa masyarakat lebih cenderung ke pilpres. Artinya bahwa masyarakat cenderung tidak mengenal terhadap sosok figur yang akan bertarung dalam pileg. Mereka melihat bahwa yang bertarung adalah kandidat presiden, serta partaipartai mana yang mendukung.

Lalu, apakah hasil pilpres dapat mempengaruhi pileg?

Sebenarnya gini, kalau saya melihat antara pileg dan pilpres ini tidak dapat dilepaskan. Kondisi yang ada saat ini itu justru partaipartai itu membutuhkan panggung untuk memperoleh suara, di mana panggung itu akan terbuka ketika mereka mampu dengan optimal memanfaatkan ruang dalam pilpres. Nah, artinya justru bahwa jika tim mereka tidak memanfaatkan ini untuk dukungan politik, justru partai-partai akan lemah dan itu akan melemahkan juga posisi mereka dalam konfigurasi politik, baik eksekutif maupun legislatif.

Selanjutnya, kans untuk partai baru?

Saya pikir partai baru ini meskipun ada ruang, tapi tantangan mereka cukup berat. Partai-partai baru tersebut muncul ketika tidak memiliki basis sosial yang kuat untuk mendapatkan suara. Basis sosial tingkat masyarakat lebih banyak dikuasai partai-partai politik yang sudah eksis sebelumnya. Nah, mereka kemudian dalam kondisi ini harus bertarung dengan partai-partai yang sudah eksis dan memiliki infrastruktur politik yang baik, serta memiliki dukungan dari tingkat bawah yang begitu kuat. Saya pikir itu tantangan. Namun, bukan berarti tidak ada kesempatan.

trisno juliantoro/AR-3

Baca Juga: