BANGKOK - Parlemen Thailand telah menolak proposal yang didukung oposisi untuk melucuti kekuasaan Senat yang ditunjuk junta, bagi memilih perdana menteri berikutnya sebelum pemungutan suara nasional yang kemungkinan akan digelar awal tahun depan.

Proposal kunci untuk mengamandemen konstitusi yang didukung militer pada 2017 itu hanya mendapatkan 356 suara dukungan, kurang dari minimal 364 suara yang dibutuhkan dalam sesi pertemuan gabungan Parlemen pada Rabu (7/9).

Proposal tersebut berusaha untuk menghapus ketentuan yang memberi Senat kekuasaan bagi memilih perdana menteri bersama dengan Majelis Rendah untuk lima tahun pertama setelah pemilihan pascakudeta pada 2019.

Langkah itu secara luas diperkirakan akan gagal karena membutuhkan dukungan lebih dari setengah suara dari gabungan 750 kursi di majelis nasional, termasuk lebih dari sepertiga suara Senat.

Mayoritas dari 250 anggota Senat, yang dipilih oleh militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta Mei 2014, memberikan suara menentang proposal tersebut.

Oposisi Thailand dan masyarakat sipil sebelumnya telah melakukan lima upaya untuk menghapus hak suara Senat dalam konstitusi, yang sebagian besar dipandang oleh para ahli sebagai sarana untuk memperkuat cengkeraman militer pada kekuasaan. Semua proposal itu telah gagal untuk mendapatkan suara yang dibutuhkan dari Senat.

"Tujuan (pengajuan proposal ini) disengaja untuk menyoroti bagaimana junta masih mempertahankan kekuasaan melalui Senat," kata ilmuwan politik Yuttaporn Issarachai dari Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat.

Permintaan MK

Upaya terakhir oposisi terhadap Senat itu terjadi di tengah popularitas Perdana Menteri Prayut Chan-Ocha yang memudar dan setelah adanya perintah dari mahkamah konstitusi untuk menskors Prayut setelah muncul petisi oposisi yang menantang kelayakannya untuk tetap berkuasa.

Terkait masa jabatan PM Prayut, informasi terakhir melaporkan bahwa Mahkamah Konstitusi pada Kamis (8/9) telah meminta lebih banyak bukti bagi mempertimbangkan apakah akan menghentikan masa jabatan PM Prayut yang saat ini diskors.

Berdasarkan konstitusi Thailand 2017, tidak boleh seorang PM menjabat lebih dari delapan tahun. Yang menjadi perdebatan saat ini yaitu menentukan kapan masa jabatan Prayut dimulai.

Prayut memimpin kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis, dan memimpin pemerintahan junta hingga menjadi perdana menteri setelah pemilihan umum pada 2019. Pendukung Prayut berpendapat bahwa masa jabatannya dimulai ketika konstitusi 2017 disahkan, atau bahkan setelah pemilihan umum 2019.

Jika pengadilan setuju, Prayut secara teknis dapat terus menjabat hingga 2025 atau 2027, jika dia memenangkan pemilu yang dijadwalkan pada Maret mendatang. AFP/ST/Bloomberg/I-1

Baca Juga: