Judul : Memo Anti Terorisme

Penulis : 250 Penyair Indonesia

Penerbit : Forum Sastra Surakarta

Cetakan : 2016

Tebal : 456 halaman

ISBN : 978-602-1048-89-4

Terorisme tidak bisa dibenarkan dan diindahkan. Apa pun alasan dan latar belakangnya, terorisme hanya mampu menciptakan kekerasan dan ketakutan banyak orang. Terorisme juga hanya mampu menyisakan puing-puing dan kehancuran. Dari hari ke hari, hingga tahun ke tahun, terorisme seolah tidak pernah menemui titik penghabisan. Malah, bisa dibilang, terorisme semakin lama tambah marak terjadi.

Dalam menanggapi sekaligus mengecam terorisme yang sedang marak di Indonesia, para penyair Indonesia mengambil sikap di jalan kebudayaan, lewat puisi. Mereka menolak dan mengutuk atas segala kekejian yang dilakukan para penebar teror itu. Jika terorisme puncak aksi kekerasan, puisi harus menjadi dasar kelembutan dan buah akal budi yang tak memberi kesempatan kekerasan lahir. Puisi tak mendaki teror ke puncak kehidupan. Itulah kutipan kata pengantar antologi ini.

Aksi teror yang terjadi di belahan wilayah-wilayah Indonesia memberi dampak buruk bagi bangsa. Selain itu, aksi teror seperti pengeboman dapat merusak keindahan dan keelokan fisik dan psikis Tanah Air tercinta. Seperti tertulis dalam puisi Ode Negeri: "aku duduk di dalam pesawat, negeriku zamrud berkubang darah" (hal 152).

Dari puisi itu, tergambarkan rupa bangsa Indonesia seperti batu zamrud yang sangat indah dan tak ternilai harganya. Namun, karena para pelaku aksi teror, zamrud yang indah itu berkubang darah, tidak indah lagi. Betapa mengerikannya!

Kenapa teror bisa terjadi? Apa sebenarnya yang ada di kepala para teroris? Puisi berjudul Kepada Para Teroris mungkin bisa sedikit memberi gambaran jawaban. "Atas nama jihad agama semangatmu berkobar. Kauagungkan Tuhan Allahu Akbar! Tapi perilakumu begitu barbar. Bukan kedamaian yang kautebar (hal 51).

Mungkin kita juga masih ingat tragedi teror di Sarinah yang sangat menyakitkan itu. Teror ini sangat sulit dilupakan bagi para keluarga korban dan seluruh masyarakat negeri ini. Puisi berjudul Sarinah mungkin bisa menjabarkan betapa menyakitkan tragedi teror itu. "Sarinah, tak bergeming, walau porak poranda memecah bala, merah membasah darah-darah tak berdosa, lupakah kau, tuan, bahwa Allah benci sang penebar angkara (hal 365).

Puisi berjudul Air Mata Darah Sarinah (Ketika Bunda Pertiwiku Menangis Lagi) semakin menegaskan penjabaran tragedi di Sarinah. "Masih tersisa puing masjid kauratakan, lalu tangis kaupecahkan, kesunyian kauledakkan, di antara belum keringnya air mata kemarin (hal 25).

Betapa menyakitkan dan menyedihkan akibat yang ditimbulkan dari tragedi-tragedi teror. Meski demikian, kita tidak boleh larut dalam kesedihan dan takut pada aksi teror dalam bentuk apa pun, seperti diungkapkan dalam puisi Thamrin: "Lalu langit meminangmu. Menerima persembahan jihadmu? Membakar surga-surga baru di dunia. Keluar dari kekalahan yang kau sebut sebagai keberanian. Tapi, tak membuat takut kami. Sama halnya dentuman bom yang meneror hatimu sendiri, bukan? (hal 326).

Kita tak boleh takut kepada terorisme selama ada cinta dan rasa persatuan. Kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus berani mengambil sikap, berani menolak dan melawannya dengan segenap tenaga seperti yang dilakukan para penyair Indonesia dalam antologi puisi ini.

Diresensi Jepri Ardian, lulusan IAIN Maulana Hasanudin Banten

Baca Juga: