» Kalau Indonesia mau maju dan beradab maka ujaran kebencian yang memecah bangsa harus dibasmi.
» Akar masalah bangsa penyebab ketidakadilan adalah kronisme dan oligarki, bukan SARA.
JAKARTA - Pemimpin nasional hendaknya bersatu padu membangun Indonesia tanpa membeda-bedakan pribumi atau nonpribumi, dan mayoritas atau minoritas. Jangan bicara provokatif dengan menciptakan dikotomi antar kelompok demi kepentingan pribadi atau golongannya.
Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana - Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, yang diminta pendapatnya mengatakan sejarah kelam di awal masa reformasi yang sarat dengan isu primordialisme khususnya suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), terjadi pemerkosaan dan penjarahan terhadap etnis minoritas itu, sengaja ada yang memainkan kembali menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 sebagai senjata untuk menghabisi lawan-lawan politiknya.
Seharusnya pemimpin nasional menyerukan pentingnya persatuan bangsa, bukan sedang "memainkan api" yang bisa mengancam persatuan bangsa.
"Sadar atau tidak, pernyataan dari seorang pemimpin yang provokatif dengan dikotomi pribumi dan nonpribumi bisa membelah persatuan bangsa," kata Siprianus.
Menurutnya, belum meratanya tingkat ekonomi di Indonesia bukan karena dikotomi pribumi dan pribumi ataupun antargolongan tertentu tetapi karena ada beberapa permasalahan bangsa yang dibiarkan seperti kronisme dan oligarki.
Bahkan, kalau ditelusuri lebih lanjut mereka yang menggunakan isu SARA menjelang pemilu dan pilpres saat ini, justru memiliki kroni bisnis yang menggurita di beberapa wilayah.
Mungkin mereka lupa kalau pribumi dan nonpribumi itu tafsir yang keliru diimplementasikan saat ini, karena itu berlaku saat zaman penjajahan. Sejarah juga menorehkan dan sudah didukung temuan genetik kalau bangsa Indonesia nenek moyangnya dari etnis yang berasal dari pantai timur Tiongkok.
"Nenek moyangnya sama, dari Tiongkok pantai timur yang telah diidentifikasi bahwa kode genetik DNA D4HS berasal dari Tiongkok. Mereka hijrah secara bergelombang ribuan tahun lalu. Kalau dirunut, kita justru lebih dekat dengan mereka dibanding dengan keturunan Timur Tengah. Jadi apa pun etnisnya, kita satu nenek moyang. Jadi, jangan bedakan pribumi dan nonpribumi sebagai isu menjelang pemilu. Para pahlawan yang merupakan tokoh pemuda di masa perjuangan kemerdekaan sudah menyerukan satu tanah air, satu bangsa yaitu warga negara Indonesia yang bersaudara," katanya.
Banyak keturunan Tionghoa atau minoritas yang miskin, tidak semuanya kaya. Apalagi kalau bicara minoritas agama. Data menunjukkan penduduk agama minoritas di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur itu taraf hidupnya masuk kategori miskin sangat parah.
Pemerintah pun saat ini sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, baik jalan tol, jalan-jalan desa, bandara, pelabuhan, bendungan, dan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Semua itu sebagai strategi untuk meningkatkan akses masyarakat guna mengurangi ketimpangan.
Di balik semua itu, tentu perlu pembiayaan yang diharapkan bersumber dari dalam negeri maupun dari investor asing. "Kalau ada tokoh bangsa yang selalu mengembuskan pesan-pesan primordial dan isu SARA, tentu akan membuat investor asing terusik dan kurang nyaman, sehingga berpikir untuk masuk berinvestasi," katanya.
Basmi Pemecah Belah
Ketua Umum Pergerakan Advokat Indonesia, Heroe Waskito, dalam kesempatan terpisah mengatakan kalau Indonesia mau maju dan beradab maka ujaran kebencian yang memecah bangsa harus dibasmi. Narasi yang mengancam persatuan bangsa seperti itu harus menjadi musuh negara dan musuh masyarakat karena lebih berbahaya dari musuh dari luar.
Heroe menyayangkan kalau elite politik mulai mengembuskan isu etnisitas dengan menyebut-nyebut bahwa ekonomi nasional dikuasai oleh etnis tertentu. Menurutnya, soal kewarganegaraan sudah tak ada lagi etnis Tionghoa, atau etnis apa pun karena berdasar UU Kewarganegaraan No 12 Tahun 2006 semua warga ber-KTP Indonesia semua adalah warga Indonesia yang sama di depan hukum.
"Jadi, jangan embuskan isu etnis karena kita negara hukum, sudah jelas tidak ada perbedaan di mata hukum. Jadi, jangan hidupkan lagi api permusuhan etnis," kata Heroe yang juga advokat senior serta aktivis 98.
Para pemimpin atau elite politik negeri ini seharusnya fokus pada isu dasarnya yakni ketimpangan ekonomi yang salah satu sebabnya adalah sistem kronisme yang berjalan mengangkangi hukum.
Di masa Presiden Jokowi, ada usaha untuk membuka kembali kejahatan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan rakyat ribuan triliun, yakni Presiden membentuk Satgas BLBI yang dipimpin langsung oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
"BLBI isunya bukan etnis tertentu mengemplang utang. Baru Pak Mahfud saja, dan tentu Presiden Jokowi jugayang berani meski sampai hari ini kita masih terus mendorong penegakan hukumnya sampai ke akar-akarnya. Sistem kronisme harus dibasmi diganti dengan supremasi hukum," papar Heroe.
Haram hukumnya, kata Heroe, elite politik kembali mendengungkan isu SARA demi memperebutkan kekuasaan. Tidak bisa ditunda lagi, negara ini mesti memasuki demokrasi esensial di mana isu-isu fundamental rakyatlah yang menjadi ajang pertarungan adu gagasan semua calon pemimpin.
"Jadi jangan bicara etnis dan menyalahkan etnis tertentu, tapi tunjuk siapa orangnya yang menjadi penyebab ketimpangan. Pasti tidak punya nyali, pasti tidak berani, karena itu temannya sendiri. Sebagai satu bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan negara hukum maka hukum harus ditegakkan atas para pelaku kejahatan ekonomi dan ketimpangan. Kenapa perampok BLBI tidak ditangkap, kenapa pembayaran kepada debitur diteruskan sampai saat ini? Di akar masalah inilah hukum ditegakkkan. Jangan melenceng mengambinghitamkan agama dan etnis tertentu," katanya.
Kesadaran Berkolaborasi
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair), Puji Karyanto, mengatakan, di tengah perubahan dan maraknya perbedaan pandangan dan persoalan kultural, semua dapat diselesaikan bila ada kesadaran untuk berkolaborasi dalam satu negara demi mencapai tujuan bersama.
"Salah satu kunci dari kerekatan dan kepekatan persatuan yang sangat kuat adalah keinginan untuk berkolaborasi menjadi satu negara. Untuk bersinergi menjadi negara, peran berbagai komponen bangsa juga diperlukan dan tidak hanya menjadi persoalan generasi muda dan tua saja. Tentu ini dapat terjadi ketika kita memiliki musuh bersama atau tujuan yang sama. Kalau dahulu musuh adalah kaum penjajah, kemarin ada Covid-19, dan ekonomi yang sedang menurun," kata Puji.
Dengan menanamkan rasa kolaborasi, rasa kebersamaan mengingatkan akan arti penting perjuangan para pendahulu saat memerdekakan republik ini. "Saat bangsa dihadapkan pada situasi-situasi sulit, secara kebudayaan, kita menjadi mudah untuk dipersatukan. Seperti menyelesaikan persoalan secara bersama-sama, semua anak bangsa terlibat di dalamnya," pungkasnya