Negara-negara bersenjata nuklir tidak punya niat untuk melepaskan bom atom sebagai bagian dari strategi militer mereka.
PARIS - Negara-negara bersenjata nuklir tidak punya niat untuk melepaskan bom atom sebagai bagian dari strategi militer mereka, kata para ahli setelah komite Hadiah Nobel Perdamaian mendesak agar "tabu" nuklir tidak dilemahkan.
Saat memberikan hadiah perdamaian tahun ini kepada Nihon Hidankyo Jepang, sebuah gerakan akar rumput para penyintas bom Hiroshima dan Nagasaki yang mendorong pelarangan senjata nuklir, pada hari Jumat (11/10) komite tersebut mengatakan bahwa serangan bom atom di kedua kota Jepang pada tahun 1945 telah menyebabkan "tabu nuklir" telah berada di bawah "tekanan" sejak saat itu.
Meskipun tidak ada satu pun negara pemilik senjata nuklir yang menggunakannya dalam perang sejak 1945, ancaman tersirat maupun tersurat untuk melakukannya merupakan bagian dari persenjataan mereka.
Moskow telah berulang kali mengacungkan ancaman nuklir dalam upaya mencegah Barat mendukung Ukraina, yang telah menangkis invasi Russia sejak Februari 2022.
Menurut Alexander Gabuev, Direktur di Carnegie Russia Eurasia Center, "bukanlah suatu kebetulan" bahwa Presiden Russia Vladimir Putin melontarkan ancaman nuklir pada malam menjelang pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tentang kemungkinan penggunaan rudal oleh Kyiv yang mampu menyerang wilayah Russia.
Komite Nobel ingin mengirim "sinyal kuat" ke Russia, kata Bruno Tertrais, ilmuwan politik di Yayasan Penelitian Strategis Prancis.
Russia, katanya, telah "menormalkan" bahkan "meremehkan", pembicaraan tentang penggunaan senjata nuklir sejak invasinya ke Ukraina.
Kremlin tidak sendirian.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan minggu lalu negaranya akanm menggunakan senjata nuklir tanpa "ragu-ragu" jika diserang oleh Korea Selatan dan sekutunya, AS.
Dan di Timur Tengah, Israel, satu-satunya negara bersenjata nuklir di kawasan itu, telah bersumpah akan memberikan respons yang "mematikan, tepat, dan mengejutkan" terhadap serangan langsung Iran di wilayah Israelpada tanggal 1 Oktober.
"Logika Penangkalan"
Sementara itu, Teheran telah secara signifikan meningkatkan program nuklirnya dan sekarang memiliki cukup bahan untuk membuat lebih dari tiga bom atom, menurut Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA).
Teheran bersikeras bahwa kegiatan nuklirnya sepenuhnya damai dan dirancang untuk menghasilkan energi.
"Logika penangkalan (deterrence) tertanam kuat di negara-negara yang memiliki senjata nuklir," kata Tertrais, namun ia menambahkan bahwa risiko penggunaan bom atom "tidak lebih besar sekarang dibandingkan lima tahun yang lalu".
Doktrin nuklir standar - yang dikembangkan selama Perang Dingin antara negara adidaya AS dan Uni Soviet - didasarkan pada asumsi bahwa senjata semacam itu tidak akan pernah digunakan karena dampaknya sangat dahsyat, dan karena pembalasan nuklir mungkin akan mendatangkan kehancuran serupa pada penyerang awal.
Inilah sebabnya mengapa Tiongkok tidak pernah melepaskan doktrinnya "tidak ada serangan pertama" , kata Lukasz Kulesa, Direktur Kebijakan Proliferasi dan Nuklir di Royal United Services Institute (RUSI).
Negara-negara lain juga telah mengisyaratkan penggunaan senjata nuklir akan menjadi pilihan terakhir tanpa mengesampingkannya sepenuhnya untuk menjaga kredibilitas di mata lawan, kata Kulesa.
Namun, menjaga keseimbangan yang aman antara ancaman dan pengendalian tidak akan pernah bebas risiko, ia memperingatkan.
"Selalu ada kemungkinan kegagalan. Ada pula kemungkinan eskalasi yang tidak disengaja yang dapat mencapai tingkat nuklir," kata Kulesa.
Negara yang memiliki senjata nuklir saat ini adalah AS, Russia, Inggris, Prancis, Tiongkok, India, Pakistan, dan Korea Utara.
Israel juga secara luas diasumsikan memiliki persenjataan nuklir, meskipun tidak pernah mengakuinya secara resmi.