Masyarakat beberapa kota besar di Papua seperti Jayapura dan Papua Barat contohnya Manokwari atau Sorong telah turun ke jalan mengadakan aksi unjuk rasa. Hal ini tentu saja dampak dari kasus "rasisme" di Surabaya dan Malang. Banyak percakapan di masyarakat mengapa masyarakat Papua atau Papua Barat belum juga mereda. Terakhir Jayapura (29/8) yang disertai pembakaran kantor Majelis Rakyat Papua (MRP). Kekerasan juga terjadi di Abepuara di mana massa menjebol lembaga pemasyarakatan dan merusak pertokoan.

"Tempat asal" kasus rasial sudah tenang. Lalu, mengapa di dua provinsi tersebut masih saja terjadi unjuk rasa menentang cara-cara rasis yang terjadi di Surabaya dan Malang? Apakah ini spontan atau ada yang menggerakkan? Muncullah banyak rumor. Yang namanya rumor, selalu saja beredar tertiup angin. Dalam percakapan warga ada berbagai pengandain.

Rakyat menduga ini tidak lagi murni sebagai dampak kasus rasial. Ini sebuah skenario. Ada yang menggerakkan. Percakapan meluas sampai ada dugaan ini goyangan agar tidak terjadi pelantikan Presiden Terpilih Pemilu 2019. Namanya juga banyak warga, jadi wajar muncul banyak dugaan, termasuk yang terakhir itu.

Lalu mengapa "dalang" ini memilih Papua dan Papua Barat untuk digoyang? Menurut warga yang lama tinggal di Jayapura, alasannya masyarakat dua provinsi tersebut cukup mudah diprovokasi dan digerakkan. Pembicaraan lain yang bergulir di tengah masyarakat, goyangan Papua diharapkan merembet ke wilayah Indonesia timur lainnya.

Salahkah rakyat menduga-duga seperti itu? Tentu tidak, karena masyarakat punya pengalaman banyak skenario dalam kehidupan berpolitik, berdemokrasi, bersosial, dan sebagainya. Mengapa demikian, barangkali hal ini karena masyarakat atau banyak tokoh yang belum dewasa dalam bermasyarakat, bernegara, dan berpolitik.

Boleh saja rakyat menduga-duga dan berandai-andai, namun semua harus dikembalikan kepada tata kehidupan berlandaskan hukum. Biar sang dalang memainkan wayang untuk menggoyang di mana-mana, yang penting aparat tidak boleh lengah dan terus bersiaga mencegah agar kerusuhan tidak meluas ke mana-mana. Eskalasi kerusuhan harus dicegah.

Di sini perlu ketegasan aparat untuk menindak yang membuat kekacauan dan kerusuhan. Syukur-syukur kalau aparat bisa menangkap dalang (kalau benar kerusuhan ini digerakkan sang dalang). Buat seminimal mungkin kerugian orang-orang yang tak bersalah. Para ketua suku dan tokoh masyarakat bersama aparat menyadarkan rakyat, pembakaran dan perusakan merugikan diri sendiri.

Misalnya, mereka mau berbelanja di mana setelah pertokoan dan pasar dibakar? Mereka mau mengadu ke mana setelah Kantor MRP dibakar? Anak-anak tidak dapat sekolah karena mencekam dan ketakutan. Pemandangan kota kacau karena atribut-atribut keindahan dihancurkan. Perekonomian terganggu karena jalan diblokir, pasar dibakar, toko dihancurkan. Semua itu harus ditanggung rakyat Papua sendiri. Maka jangan mau diprovokasi. Masyarakat harus kembali tenang. Biarkan aparat merampungkan kasus rasial di Surabaya dan Malang.

Maka penyelesaian kasus di dua kota Jatim tersebut lebih cepat lebih baik agar eskalasi kekecewaan di Papua tak meluas. Namun yang terpenting, semua yang berlaku rasis, termasuk aparat (kalau memang ada) penanganannya harus transparan, jujur, dan adil. Jangan mentang-mentang menyangkut aparat, penanganannya berbeda (ini sering terjadi). Hal ini bila terjadi bisa kembali memicu berbagai kekecewaan lanjutan.

Jadi, rakyat Papua kembalilah ke aktivitas seperti biasa. Pelajar ke sekolah. Pegawai ke kantor dan petani ke sawah atau ladang. Sementara itu, di Surabaya dan Malang, hukum akan bekerja maksimal bagi para pelaku rasis secara cepat, terbuka, dan adil.

Baca Juga: