YOGYAKARTA - Perang antara Rusia dengan Ukraina tidak hanya terjadi dalam ranah luring. Kini, perang antara kedua negara juga merambah hingga ke dunia digital.

Berbagai kelompok peretas (hacker) ikut mengambil sikap dalam perang tersebut. Bahkan, salah satu lembaga yang bergerak di bidang keamanan siber, ESET, telah menemukan perangkat lunak perusak (malware) baru yang mengincar sistem jaringan sektor pemerintahan dan perekonomian milik Ukraina. Malware tersebut digunakan untuk menghapus semua data yang berada di dalam sistem.

Berkenaan dengan hal tersebut, peneliti Center for Digital Society (CfDS) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Treviliana Eka Putri mengatakan bahwa perang yang terjadi di ranah digital dikhawatirkan akan menimbulkan risiko ancaman siber, tidak hanya bagi kedua belah negara, melainkan secara global. Meski Rusia mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan operasi 'gelap' di dunia maya, risiko ancaman siber tetap ada.

"Peretasan yang ditujukan terhadap Ukraina dapat merembet ke negara-negara sekitarnya, bahkan hingga ke seluruh dunia. Hal tersebut didorong oleh keadaan dunia digital yang semakin borderless (tanpa batas)," ungkap Treviliana, dalam rilis pers yang diterima redaksi Jumat (4/3).

Kini, berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Jepang telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Melihat situasi tersebut, ada kemungkinan bagi Rusia untuk menargetkan serangannya terhadap negara-negara pemberi sanksi maupun industri pada sektor privat yang berasal dari negara tersebut dan turut memberikan sanksi atau pemutusan akses.

Meski dampak fisik yang ditimbulkan tidak terlalu kentara sebagaimana serangan militer yang terjadi secara fisik, risiko ancaman siber merupakan satu hal yang patut diwaspadai. Ancaman siber juga dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit dan berakibat terhadap terganggunya integrasi sosial yang ada di dalam masyarakat.

"Selain ancaman serangan siber berupa peretasan, persebaran disinformasi terkait konflik yang terjadi di Ukraina juga banyak terjadi dan tersebar secara masif. Ancaman disinformasi ini juga merupakan salah satu hal yang perlu kita waspadai. Dengan banyaknya volume informasi yang kita peroleh melalui media sosial terutama, diperlukan kemampuan cek fakta yang baik untuk mem-filter informasi yang kita terima," pungkas Treviliana.

Oleh karena itu, potensi ancaman siber ini tidak dapat dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah Indonesia yang hingga kini masih kerap berhadapan dengan isu keamanan siber, baik dalam hal infrastruktur keamanan siber maupun persebaran disinformasi dan hoaks di dalam ruang digital.

Baca Juga: