GEORGE TOWN - Para ahli medis menyuarakan keprihatinan mengenai dampak polusi udara dalam penyebaran bakteri dan potensi berkembangnya resistensi antibiotik ketika kondisi berkabut melanda Malaysia.

Ahli virologi dari Universiti Sains Malaysia (USM), Kumitaa Theva Das, menyoroti penelitian terbaru yang meneliti sembilan bakteri patogen dan hampir 50 jenis antibiotik.

Temuan tersebut, katanya, mengungkapkan hubungan yang signifikan antara polusi udara dan resistensi antibiotik, khususnya peningkatan polusi udara sebesar 1 persen dikaitkan dengan peningkatan resistensi antibiotik sebesar 1,9 persen.

"Studi ini menunjukkan bahwa polutan mempercepat evolusi bakteri, menjadikan polusi partikel berpotensi menjadi salah satu pendorong utama resistensi antibiotik," kata Kumitaa.

"Sumber ini, antara lain berasal dari kebakaran hutan yang sedang kita alami saat ini. Polutan ini dapat mempengaruhi kesehatan jantung, paru-paru, dan pernafasan. Anak-anak, orang lanjut usia, serta penderita penyakit jantung dan paru-paru seperti asma menghadapi risiko lebih tinggi dan harus ekstra hati-hati," katanya.

Menurut para ahli, polutan di udara dapat berdampak pada dinding sel bakteri, sehingga memfasilitasi penyerapan unsur-unsur yang berkontribusi terhadap resistensi antibiotik. Proses ini, yang dikenal sebagai transfer gen horizontal, memungkinkan bakteri berevolusi dan menjadi lebih kebal antibiotik.

Dikutip dari The Straits Times, evolusi ini terjadi lebih cepat dibandingkan penyebab resistensi antibiotik lainnya, seperti yang ditunjukkan oleh studi pemodelan.

Sebagian wilayah Malaysia diselimuti kabut asap dengan indeks kualitas udara (AQI) pada Selasa mencapai tingkat tidak sehat sebesar 181 di ibu kota negara bagian Selangor, Shah Alam, dan Kuching di Sarawak.

Nilai AQI antara 151 dan 200 dianggap tidak sehat karena meningkatkan kemungkinan terjadinya efek buruk dan gangguan pada jantung dan paru-paru di kalangan masyarakat umum.

Angka di antara 201 dan 300 dianggap sangat tidak sehat, sedangkan angka di atas 301 menunjukkan kualitas udara berbahaya. Untuk melindungi diri dari dampak buruk kabut asap, Kumitaa merekomendasikan langkah-langkah praktis.

Mengenakan masker, menjaga hidrasi, menerapkan pola makan bergizi, dan mengurangi aktivitas di luar ruangan merupakan langkah penting untuk mengurangi risiko terkait polusi udara.

Spesialis kedokteran keluarga USM, Mastura Mohd Sopian, lebih lanjut menyoroti beragam bakteri resisten antibiotik dan gen resistensi yang dapat muncul akibat polusi udara.

Kabut asap, yang umum terjadi pada kejadian seperti kebakaran hutan, dapat mengubah gen dan berkontribusi secara tidak langsung terhadap resistensi antibiotik melalui interaksi gen-lingkungan, khususnya mempengaruhi infeksi saluran pernapasan.

Mastura menekankan dampak kabut asap lebih terasa pada individu dengan penyakit jantung atau paru-paru yang sudah ada sebelumnya. Gejala akut seperti batuk, mengi, sesak napas, kelelahan, dan lemas dapat terjadi akibat paparan kabut asap.

"Selain itu, paparan yang terlalu lama dapat menyebabkan bronkitis dan peningkatan risiko kanker paru-paru," ujarnya.

Untuk mengurangi dampak buruk kabut asap, Mastura menyarankan masyarakat untuk meningkatkan asupan air, menjaga kebersihan wajah dan tangan secara teratur, memakai masker secara konsisten, dan membatasi aktivitas di luar ruangan, terutama saat kualitas udara buruk.

Baca Juga: