WASHINGTON DC - Risiko Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok semakin terjebak dalam konflik di Laut Tiongkok Selatan (LTS) semakin meningkat seiring kegiatan latihan militer mereka kedua negara, serta sikap keras berbagai negara untuk menunjukkan kehadiran di titik panas regional utama Asia Pasifik ini.

Tiongkok yang semakin tegas telah mengirimkan kapal survei di perairan yang disengketakan negara-negara penuntut lain yang ingin mengeksplorasi minyak. Negara itu telah berulang kali mengerahkan kapal penjaga pantai dan kapal nelayan yang dipersenjatai. Puncak dari semua itu terjadi pada awal Juli ketika Angkatan Laut Tiongkok menggelar latihan di dekat Kepulauan Paracel, yang memicu protes dari Vietnam dan Filipina.

Jika unjuk kekuatan Tiongkok dimaksudkan untuk menguji Washington DC, maka tampaknya niat itu menjadi bumerang karena AS dan sekutunya akan mendorong Tiongkok mundur. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, dalam sepekan terakhir AS mengirim dua kapal induk ke LTS untuk latihan yang tak jauh dari latihan Tiongkok di Paracel. Kelompok-kelompok kapal induk itu berlatih bersama dengan Angkatan Laut Jepang, sementara Jepang dan Australia telah meluncurkan strategi pertahanan baru dalam beberapa pekan terakhir yang menyoroti kekhawatiran atas agresivitas Tiongkok.

Terlepas dari meningkatnya ketegangan dalam hubungan AS-Tiongkok, diberlakukannya undang-undang keamanan Hong Kong, sanksi pejabat Tiongkok atas kekejaman di Xinjiang, atau perselisihan perdagangan, pengamat dari RAND Corporation Andrew Scobell mengatakan, baik AS maupun Tiongkok cenderung menganggap risiko konflik di LTS rendah, dan itu menghadirkan bahaya bagi mereka sendiri.

"Itu membuat saya khawatir karena itu memberi kedua belah pihak perasaan bahwa mereka dapat melakukan sesuatu tanpa khawatir tentang potensi eskalasi," kata Scobell yang juga adalah pakar di Marine Corps University.

Insiden Pemicu

Pada bagian lain, peneliti di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam di Singapura, Olli Pekka Suorsa, merasa prihatin dengan potensi yang berkembang akan menjadi konflik yang tidak diinginkan.

"Dengan Tiongkok dan Amerika Serikat mengerahkan sejumlah besar kapal dan pesawat militer dalam jarak yang dekat satu sama lain, risiko tabrakan adalah bahaya yang selalu ada," kata Suorsa. "Dan dengan ketegangan yang meningkat setinggi sekarang ini, kecelakaan atau salah perhitungan bisa saja terjadi," ujar dia.

Dalam penjelasannya, Scobell mencontohkan insiden ketika sebuah pesawat intelijen AS bertabrakan dengan jet tempur Tiongkok di atas Kepulauan Paracel. Insiden itu menyebabkan kematian seorang pilot Tiongkok dan memaksa pesawat AS mendarat di Hainan Tiongkok dan awaknya ditahan.

Ketegangan akibat Insiden itu berhasil diredakan, tetapi Scobell berpikir situasi apapun sekarang akan dapat membuat keadaan lebih memanas Serta akan ada lebih banyak tekanan pada AS dan Tiongkok untuk bertindak cepat.

Menurut beberapa pakar, saat AS lebih sering melakukan patroli di langit dan laut dan Tiongkok melanjutkan aktivitas militernya, maka peluang kapal bertabrakan atau mencoba untuk memaksa satu sama lain agar mundur semakin meningkat. Jika terjadi krisis, ada jalur hotline antara Tiongkok dan Amerika Serikat, tetapi Scobell mengatakan jalur komunikasi langsung ini tidak sempurna, bersifat lambat, dan sering macet.

"Yang membuat pejabat AS frustasi adalah bahwa kami memiliki hotline ini, tapi tidak ada jawaban segera. Itulah yang sering terjadi," kata Scobell.

Menurut analis senior di Australian Strategic Policy Institute, Huong Le Thu, menyatakan bahwa risiko AS dan Tiongkok terjebak dalam konflik di LTS semakin meningkat seiring kegiatan latihan militer mereka kedua negara, serta sikap keras berbagai negara untuk menunjukkan kehadiran di titik panas regional utama Asia Pasifik ini. SB/RFA/I-1

Baca Juga: