Buruknya kualitas udara Jakarta cerminan penggunaan energi kotor sehingga perlu diantisipasi dampak kerugiannya.
JAKARTA - Pemerintah diminta lebih serius lagi menyikapi buruknya kualitas udara di Jakarta. Saat ini, kualitas udara Jakarta sangat tidak sehat, yakni di level 117 ppm. Apabila tak ada perubahan fundamental, kondisi kesehatan warga Ibu Kota bakal terancam.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menuturkan pemerintah harus menetapkan pajak karbon dengan nilai tinggi. Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Pemerintah berencana menerapkan pajak karbon mulai tahun depan.
Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal 75 rupiah per kilogram (kg) karbondioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Fabby berpandangan dengan kualitas udara Jakarta yang buruk, tarif 75 rupiah itu terlalu rendah dan masih jauh dari rekomendasi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Bank Dunia maupun IMF, kata dia, merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara 35-100 dollar AS per ton atau sekitar 507.500-1,4 juta rupiah (asumsi kurs Rp14.500 per dollar AS) per ton. "Kalau terlalu rendah tidak akan menciptkan efek perubahan. Jadi, harus dicari nilai yang optimal sehingga pencemar benar-benar mau berubah," tukas Fabby, di Jakarta, Kamis (30/9).
Terkait buruknya kualitas udara di Jakarta, dia menegaskan angka 117 itu masuk dalam kategori tidak sehat dan artinya risiko kesehatan publik sangat tinggi dari tingginya tingkat zat-zat pencemar: CO, NO2, SO2, partikulat (PM 10 & PM 2,5).
Karena itu, pemerintah harus serius mengatasi pencemaran udara karena dampaknya pada kesehatan publik sangat besar, demikian juga dengan biaya sosial yang harus ditanggung warga masyarakat, serta opportunity lost yang terjadi dari efek jangka panjang pencemaran udara.
Perlu ada upaya menelisik sumber-sumber pencemaran udara di Jakarta, dan dilakukan mitigasi terhadap sumber-sumber tersebut. Selain pajak karbon, tambah dia, perlu juga memperkuat standar dan melakukan law enforcement. Misalnya untuk emisi kendaraan bermotor, pembangkit listrik kan sudah ada standar baku emisi.
Antisipasi Dini
Direktur Celios, Bhima Yudisthira, menilai pemerintah perlu mengantisipasi kerugian dari perubahan iklim sejak dini. Menurut dia, buruknya kualitas udara Ibu Kota cerminan penggunaan energi kotor. Karena itu, dirinya berharap porsi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik tahun 2030 nanti 80 persen didominasi oleh energi non fosil.
"Ini salah satu komitmen yang paling nyata karena pemakaian energi fosil, BBM kemudian solar, salah satunya yang banyak itu ada di sektor pembangkit ini. Pemerintah seharusnya punya komitmen ini mumpung lagi pembahasan RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) 2021-2030. Harapannya, 80 persen energi primer di pembangkit dari energi ramah lingkungan," jelasnya.