Tidak masuk akal, RI negara agraris memberi makan rakyat dari petani negara asing.

Negara maju menjaga stabilitas harga pangan dengan menjadi eksportir pangan.

JAKARTA - Solusi stabilisasi harga pangan sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam negeri dari hasil petani Indonesia sehingga mampu mencukupi permintaan dari dalam negeri. Dan, hal itu hanya bisa diwujudkan dengan meningkatkan modernisasi pertanian beserta infrastrukturnya, termasuk bibit unggul, dan pemrosesan hasil pangan.

Fakta menunjukkan, tidak ada satu pun negara maju yang tidak memiliki produksi pangan yang mandiri, berteknologi tinggi, dan pertanian modern. Yang paling utama, tidak mungkin suatu negara mempunyai kedaulatan jika tidak mampu menghasilkan pangan sendiri bagi rakyatnya.

Jadi, penyediaan supply pangan dari dalam negeri yang mampu memenuhi permintaan masyarakat adalah kunci dari stabilitas harga pangan nasional.

Anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan, Ahmad Yakub, mengatakan pemerintah tampak kebingungan mencari solusi stabilitas harga pangan. Padahal jelas, negara maju sudah mencontohkan bagaimana menjaga stabilitas harga pangan di negaranya yakni dengan menjadi eksportir pangan.

"Komitmen kuat dan koordinasi pangan terpadu untuk tingkatkan produksi pangan nasional dalam Badan Pangan seperti amanat UU Pangan, sudah cukup jelas sebenarnya," kata dia saat dihubungi, Jumat (4/8).

Yakub mengatakan kalau negara maju enggan impor kenapa Indonesia justru terus memperbesar impor, maka pasti ada selisih atau keuntungan yang diambil dari penerbitan izin impor. Padahal, kebijakan impor jelas merugikan petani dan makin menambah kemiskinan di perdesaan.

Ini semua hanya bisa terjadi karena ada pejabat negara yang menggunakan kekuasaan untuk melanggar UU dan merugikan petani "Semestinya pemerintah justru meningkatkan modernisasi pertanian untuk memacu produktivitas. Misi negara tiada lain harus untuk tingkatkan suplai itu dari dalam negeri dari hasil petani Indonesia bukan malah memperbesar impor," tukas dia.

Ia memaparkan peningkatan produksi nasional juga mesti dibarengi dengan pembangunan penampungan pangan, dan infrastruktur transportasi yang memadai guna mendukung distribusi yang merata ke seluruh pelosok Nusantara.

Yakub mengingatkan di masa mendatang saat populasi dunia meningkat, maka kebutuhan pangan tidak akan terpenuhi jika hanya bergantung pada beberapa negara eksportir.

Indonesia dengan populasi terbesar ke-4 dunia akan mencapai 300 juta penduduk pada 2050, sehingga akan sangat fatal jika tidak mampu menghasilkan pangan dalam negeri dari petani Indonesia sendiri. Sebab, lanjut dia, kemungkinan besar permintaan pangan dunia akan meningkat sehingga harga pangan otomatis naik.

"Dan semua harga pangan diperdagangkan dalam kurs dollar AS. Bagaimana RI punya dana devisa dollar AS untuk beli pangan dari negara asing untuk saat itu. Sekarang saja kita kesulitan apalagi nanti jika ini terus berlanjut," jelas Yakub.

Padahal, menurut dia, untuk membangun ekonomi yang mandiri butuh 10-20 tahun, tapi sekarang pemerintah justru mematikan petani nasional dengan berbagai kebijakan yang memiskinkan petani, membuat mereka tidak mampu meningkatkan produksi malah menguranginya dengan menjual tanah garapan.

"Maka tidak masuk akal Indonesia yang negara agraris memberi makan rakyatnya dari petani negara asing. Kita tidak punya keunggulan lain saat ini. Karena itu, solusi jalan pintas dengan impor pangan dan mematok HET (Harga Eceraan Tertinggi) itu bunuh diri," tegas Yakub.

Langgar UU

Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai kebijakan HET melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pasal mengenai kartel,

yaitu membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Padahal, prinsip dasar harga di seluruh dunia dan berlaku juga di Indonesia adalah sesuai supply and demand di pasar. "Pematokan harga bersama-sama seperti pemberlakuan HET adalah kartel, dan itu dilarang," ujar pengamat pertanian, Zainal Abidin.

Menurut Guru Besar Teknologi Pangan UGM Yogyakarta, tidak dibenarkan pemerintah mengambil jalan termudah untuk menjaga stabilitas harga dan inflasi demi pertumbuhan ekonomi dengan menetapkan HET produk pangan.

Penerapan HET membuat petani sebagai produsen pangan akan tergerus pendapatannya dan merugi jika harga jual produk mereka tertekan oleh kebijakan patok harga tersebut.

"Itu sebabnya perlu kebijakan yang lebih canggih seperti pengenaan bea impor pangan sehingga punya uang untuk subsidi petani baik melalui input ataupun HPP (Harga Pembelian Pemerintah). Bukan malah memakai HET yang anti-produsen dan juga anti-perdagangan pangan sebenarnya," papar dia.

Menurut Masyhuri, HET adalah kebijakan anti-pasar karena membuat pendapatan petani anjlok, bahkan merugi. Untuk itu, pemerintah mesti memilih ingin anti-pasar yang berarti seluruh tata niaga pangan diurusi negara atau menyerahkan pada mekanisme pasar.

Ini berarti tugas negara adalah memastikan pasar berjalan adil bukan menentukan harga. Masyhuri menegaskan sebaiknya pemerintah tidak perlu menerapkan HET. Yang terpenting adalah adalah harga referensi. Misalnya, HPP sebagai referensi kalau komoditas pangan milik petani tidak laku. YK/SB/ahm/WP

Baca Juga: