DEPOK - Permasalahan tenaga kerja alih daya (outsourcing) terjadi karena ada aturan yang tumpang tindih dan kekosongan hukum, sehingga mengakibatkan ketimpangan hak dan kewajiban para pelaku alih daya.

Hal tersebut dikatakan oleh Pengurus Perkumpulan Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia bidang Hukum dan Advokasi, Ike Farida, usai meraih gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) dengan disertasi berjudul Membangun Sistem Outsourcing yang Berkeadilan Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.27/PUU-IX/2011, di Fakultas Hukum UI Depok, akhir pekan lalu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya dengan membandingkan sistem alih daya pada beberapa negara maju, yaitu Jerman, Amerika, Inggris, dan Jepang ditemukan suatu solusi bagi permasalahan ini.

Solusi itu, kata dia, dengan mengeluarkan aturan baru setingkat undang-undang yang mengatur tentang alih daya dengan ketentuan hak dan kewajiban para pelaku alih daya secara menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan masing-masing para pelaku alih daya.

Namun, pembentukkan undang-undang memerlukan pembahasan dan prosedur yang cukup panjang. Oleh sebab itu, penertiban peraturan pemerintah pengganti undang-udang (perppu) menjadi salah satu alternatif yang cukup ideal pada saat ini.

Apabila perppu tidak dimungkinkan untuk dikeluarkan, diperlukan pembentukan peraturan yang bersifat sementara, seperti melakukan revisi dan harmonisasi terhadap peraturan-peraturan menteri dengan aturan yang lebih rinci sebagai solusi cepat untuk menghindari timbulnya kerugian yang lebih besar bagi para pelaku outsourcing.

Ike menilai pengaturan dan praktik alih daya dalam sistem ketenagakerjaan Indonesia belum memberikan rasa keadilan bagi para pelakunya. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan belum sepenuhnya memuat penjabaran hak dan kewajiban.

"Buruh atau pekerja sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif, seperti pembedaan upah dengan pekerja lainnya, tidak adanya jaminan kelangsungan bekerja, tidak memiliki kesempatan karier, dan tidak diberikan hak-hak lain yang seharusnya didapat oleh pekerja outsourcing," katanya.

Lulusan Universitas Chuo, Jepang, ini menjelaskan negara maju seperti di Jerman, Amerika, Inggris, dan Jepang telah memiliki pengaturan alih daya tersendiri, baik yang dituangkan dalam undang- undang khusus, maupun kebijakan-kebijakan yang menyokong praktik outsourcing agar dapat dilaksanakan seadil-adilnya.

Dari pengamatan dan penelitian yang telah dilakukannya, ia berhasil meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma dengan menitikberatkan persoalan ketenagakerjaan ke dalam model alternatif praktik alih daya yang berkeadilan bagi semua pelaku alih daya dengan mengadopsi peraturan di beberapa negara maju.

Perubahan besar dalam aturan alih daya ini dapat didukung oleh undang-undang khusus alih daya pengaturan sanksi yang tegas, pengawasan yang terintegrasi, dan sosialisasi yang berkesinambungan. cit/E-3

Baca Juga: