Lembaga peradilan kita kembali tercoreng. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Kali ini, OTT menyasar hakim dan pegawai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. OTT pada Selasa (27/11) malam hingga Rabu (28/11) dini hari itu semakin menambah panjang daftar hakim yang berurusan dengan suap dan korupsi.

Dalam OTT ini, KPK menangkap enam orang. KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dollar Singapura. Setelah melalui pemeriksaan awal, KPK menetapkan lima tersangka. Dari jumlah itu, terdapat hakim dan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. OTT di PN Jakarta Selatan tersebut terkait dengan kasus suap perkara tambang.

Saat ini, moral para penegak hukum, khususnya hakim, terus menerus mengalami degradasi. Penurunan kualitas moralnya bahkan semakin tidak terkendali. Degradasi moral hakim tersebut merupakan salah satu masalah krusial bagi pencari keadilan di negeri ini. Masalah inilah yang perlu mendapat perhatian, baik dari pemerintah/ lembaga terkait serta masyarakat luas pada umumnya.

Penangkapan hakim ini menunjukkan adanya praktik suap yang sudah mengakar di institusi peradilan. Salah satu penyebabnya karena pengawasan yang lemah. Selain masalah pengawasan, Mahkamah Agung juga perlu segera melakukan pembenahan manajemen perkara, terutama di tingkat Pengadilan Negeri agar menutup celah praktik suap dan korupsi.

Saat ini masyarakat awam berpandangan, meski tiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan, namun ternyata pihak yang punya uang acapkali memiliki akses yang besar untuk memenangkan perkara. Pihak yang punya uang memiliki modal untuk mendapatkan advokat yang terkenal dan mahal. Tujuannya akses pada oknum hakim bisa amat besar.

Sebaliknya, orang-orang yang tak mampu, jangankan menyewa pengacara atau advokat, membayar perkara ke pengadilan saja belum tentu kuat. Karena itu, tidak mengherankan bila banyak terdakwa yang tergolong berduit dapat bebas dari tuntutan hukum, dijatuhi hukuman ringan, atau memenangkan perkara.

Sementara bagi yang tidak mampu hanya dapat meneteskan air mata menerima kekalahan yang direkayasa. Rendahnya moral hakim itu semakin mempemudah pihak yang berperkara memanipulasi atau merekayasa putusan.

Pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan sudah mulai runtuh di negeri ini. Publik semakin sulit untuk percaya pada aparat penegak hukum. Bahkan lembaga penegak hukum saat ini sering menjadi sasaran cemooh dari pencari keadilan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak aparat penegak hukum yang bisa diatur dengan uang. Plesetan KUHP, seperti Kasih Uang Hakim Pasrah atau Kasih Uang Habis Perkara adalah merupakan salah satu indikasi dari buruknya citra lembaga peradilan di mata masyarakat.

Citra dan wibawa hakim dalam pandangan masyarakat kita saat ini hampir mencapai titik nadir. Keadilan pada akhirnya hanya menjadi slogan belaka dan selalu mengalami distorsi. Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia kini dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat seperti menjadi dua kutub yang bertentangan.

Perilaku koruptif para hakim semakin membuat pintu untuk mencari keadilan bagi masyarakat semakin sulit. Wibawa untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan bebas dari KKN juga sulit diwujudkan. Akibatnya keadilan tidak bisa ditegakkan.

Baca Juga: