Steve Jobs wanted everyone to have iPads, except his own children (Getty). Kalau kita berpandangan bahwa sekolah berkualitas itu mempunyai piranti lengkap layaknya toko elekronik dengan lingkungan sekolah yang bermandikan sinyal wifi, maka mulai saat ini harus dibuang jauh-jauh.

Kaum inovator layaknya Steve Jobs dan para insinyur-eksekutif Apple, eBay, Google, Hewlett-Packard, mengirim anak-anaknya ke sekolah dasar Waldorf di Los Altos, California; sebuah sekolah dimana alat-alat elektronik nihil keberadaannya. Steve Jobs dan kawankawan inovator lainnya, menyadari bahwa teknologi bisa mengubah pola hubungan inheran antara anak dengan potensi dirinya, lingkungan keluarga dan masyarakat serta lingkungan alamnya.

Pola hubungan itu cenderung reduktif dan bahkan bisa distruktif. Anak-anak yang sebelumnya terlibat hubungan emosional dan intraksi fisik dengan anak lain, teknologi hadirmerampasnya. Teknologi telah membuat anak terkurung dalam sangkar kehampaah. Waktu berintraksi dan bermain dengan anak secara langsung terkikis, hilang dan musnah.

Disinilah anak akan kehilangan kesempatan untuk melatih fisiknya melalui banyak gerakan dan menata emosinya untuk berbagi pengertian dengan teman-teman sebayanya. Mentzoni dalam Cris Rowan (2015), mengatakan bahwa teknologi meningkatkan depresi anak, menimbulkan kecemasan dan anak akan cenderung anti sosial, memberikan serba kemudahan sehingga anak tak terlatih untuk berfikir panjang dan bersabar.

Ketika suatu saat anak yang biasa dihadapkan dengan yang instan dan dihadapkan pada yang sulit di hidupan nyata, maka ia akan berpotensi untuk depresi, cemas dan ketakutan. Teknologi memberikan dampak buruk bagi kemampuan anak mengolah kecerdasan emosional. Teknologi juga bisa merampas kreativitas anak.

Pada tahun 2012 ada sebuah studi dari common sense media, sebuah organisasi nirlaba dari San Francisco, menegaskan bahwa tekhnologi digital bisa membuat perhatian siswa menjadi lebih pendek, menghambat kemampuan menulis siswa dan kecakapan berkomunikasi serta nalar fikir kritis siswa hilang ketajamannya. Tekhnologi mengajari anak untuk berfikir pendek, instan dan nir kreativitas.

Anak tidak bisa melakukan eksprimen-eksprimen baru, karena semuanya dangan teknhnologi serba mikanik. Perkembangan otak yang distimulasi melalui tekhnologi- ponsel, internet, iPads dan TV-juga berefek negatif. Small dan Pagini (2015) melalui hasil penelitiannya mengatakan bahwa tekhnologi telah mengurangi perhatian anak, gangguan belajar, keterlambatan kognitif dan menurunnya kemampuan untuk mengatur diri sendiri.

Maka tak heran ketika Steve Jobs, menginginkan semua piranti elektronik menjauh dari anak-anaknya, tetapi dia menginginkan semua orang untuk memilikinya sebagai sebuah tujuah komoditas an sich. Secara jujur, anak-anak Steve Jobs menjadi perkecualian dari proyek komoditas piranti yang dibuatnya sendiri.

Ia tetap ingin mendidik anaknya untuk bermain dengan cara-cara konvensional, berintraksi melalui kontek fisik dan berkomunikasi tatap muka yang melibatkan emosional serta mengajari anak berfikir dengan buku dan baca tulis manual. Steve Jobs pun mengirim anaknya ke sekolah Waldorf di Los Altos, California yang sepi dari alat-alat tekhnologi.

Di sekolah itu kita hanya akan menjumpai anak-anak dan guru berintraksi melalui kapur dan papn tulis, menggeluti kerajinan melalui teknik menyulam dan bermain melalui benda-benda alat permainan tradisional yang memberi pengalaman- pengalaman kongkrit pada anak-anak.

Apabila sekolah itu ada di Indonesia, bisa dikatakan ketinggalan zaman, dimana orangtua, guru dan anak-anak sudah terlalu menjadikan kepemilikan dan penggunaan tekhnologi sebagai barameter kemajuan atau bahkan keunggulan sebuah sekolah. Tapi sekolah kreteria seperti itulah yang dipilih untuk anak Steve Jobs dan para eksekutif lainnya, sebuah sekolah yang jauh dari hingar binger tekhnologi, karena tak ingin anak-anak didiknya terjebak dan tersandra pada dengan mengedepankan sarana daripada tujuan.

Sekolah itu mempunyai landasan filosofis yang jelas, yakni ingin merangsang anak sesua proses pertumbuhan dan perkembangannya melalui pembentukan tubuh yang sehat dan kuat, alat indra yang aktif dan sehat, perkembangan emosi yang stabil dan gairah intelektual anak yang cakap. Semua itu hanya bisa digapai apabila tekhnologi dijauhkan dari anak-anak.

Masyarakat Teknologis

Kebalikan dari cara Steve Jobs mendidik anaknya, masyarakat kita menjadikan teknologi sebagai berhala baru yang mengisi setiap kamar anak dan setiap kelas di sekolah. Teknologi hadir dengan telanjang. Orangtua dan guru merasa malu pada tetangga apabila anaknya tak memegang Ipad dan guru pun di sekolah merasa ketinggalan zaman apabila sekolanya tidak mermandikan sinyal wifi.

Masyarakat kita telah mengarah pada tahap masyarakat teknologis yang dikondisikan secara terus menerus untuk keberlangsungan komoditas. Jacques Ellul " The Technological Society" (1964) yang dikutip Francis Lim, menegaskan bahwa ciri masyarakat tekhnologis adalah materialistik.

Tekhnologi menjadi suatu yang artivisial, otonom, menentukan dirinya sendiri berkembang dalam suatu sebab akibat dan bukan di arahkan pada tujuan. Sarana seakan menjadi lebih penting daripada tujuan, sehingga teknologi sebagai kekuatan otonom tidak terkendalikan, justru lebih memperbudak dan membelenggu manusia dari pada membebaskannya.

Teknologi bukan lagi barang netral, tetapi menyimpan ideologi teknokratis yang hegemonik; mampu mengontrol masyarakat tanpa merasa diperas dan bisa menciptakan keinginan-keinginan seakan menjadi suatu kebutuan yang harus dipenuhi.

Kondisi seperti inilah yang oleh Herbert Marcuse (2000) disebut sebagai masyarakat yang berdimensi satu, dimana arah dan tujuan masyarakat hanya digiring pada satu arah; melangsungkan praktik kapitalisme secara terus menerus dengan ragam cara, termasuk menjadikan tekhnologi seakan menjadi kebutuhan dalam dunia pendidikan.

Keinginan Steve Jobs, yang dikutip Getty di awal tulisan ini memberi makna pada kita; Steve Jobs sebagai sosok inovator, perancang dan penyedia tekhnologi industri tentu sangat menginginkan semua orang yang ada di dunia ini mempunyai tekhnologi ciptaannya. Keinginan yang mewakili nalar korporasinya untuk memanipulasi masyarakat agar terus menjadi konsumen.

Tak ada konsumen yang setia yang cerdas karena bukan akal yang jadi objek, tetapi hasrat. Karlina Supelli (2003) mengatakan, "konsumen tidak dididik untuk mengembangkan dayadaya abstrak-imajinatif-kreatif serta berfikir kritis dan rasional. Konsumen dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaankebiasaan kulturalnya agar menghendaki segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar".

Najamuddin Muhammad, Pemerhati Pendidikan Anak yang tinggal di Kota Pensiunan, Purworejo

Baca Juga: