JAKARTA - Survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan, selama pandemi Covid-19, sebesar 71,5 persen pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif. Sebesar 21,7 responden mengungkapkan istri dominan, dan 5,8 persen hanya istri saja.

Penelitian UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi orang tua mengalami tingkat stress dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan orang tua untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.

Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Irma Ardiana, MAPS menerangkan, gaya pengasuhan mempengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak. Pengasuhan bersama menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga.

"Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka," ujar dia dalam webinar bertema Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi, Selasa (28/6).

Lebih jauh ini mengatakan, peran orang tua dalam mendukung pemenuhan nutrisi, dan akses ke aktivitas. Hal tersebut berguna dalam membantu anak memenuhi tonggak pencapaian (milestone) aspek perkembangan merupakan hal yang penting.

Dokter Spesialis Tumbuh Kembang Anak Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A (K), MPH, memaparkan aspek sosial dan emosional sangat penting bagi anak untuk mencapai semua aspek kehidupannya dan bersaing di fase kehidupan selanjutnya. Oleh karenanya penting bagi orangtua untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai perkembangan sosial dan emosional anak khususnya di masa transisi pasca pandemi saat ini.

Pada masa transisi anak-anak menghadapi kebingungan terkait dengan perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial. Hal ini dapat meningkatkan masalah sosial-emosional yang dampaknya bisa berbeda tergantung usia anak dan dukungan dari lingkungannya.

"Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular," ujar dia.

dr Bernie menjelaskan, masalah perkembangan sosial dan emosional berkaitan erat dengan kecerdasan otak dan sistem pencernaan yang sehat. Ketiganya saling terkait dan berpengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak agar anak dapat tumbuh menjadi anak hebat.

"Agar anak-anak dapat beradaptasi kembali dengan normal, memiliki keterampilan sosial-emosional yang memadai, serta memiliki kemampuan berpikir yang baik, maka orang tua perlu memantau perkembangan sosial emosional anak secara berkala. Juga perlu memberi stimulasi dan nutrisi yang tepat," ungkap dr. Bernie.

Menurut Founder Joyful Parenting 101, Cici Desri menceritakan pengalamannya saat mempersiapkan si Kecil menghadapi transisi untuk kembali berinteraksi dengan lingkungan sosial. "Setelah menjalani pembatasan sosial selama hampir dua tahun, saya melihat ada banyak tantangan yang dihadapi si Kecil untuk kembali bersosialisasi dengan dunia luar," ungkapnya.

Proses adaptasi yang dilakukan anaknya tidak selalu berjalan dengan mudah, mulai dari kekagetan ketika bertemu dengan banyak orang baru, beraktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang membuat si kecil kadang juga menjadi frustasi. Menghadapi hal tersebut, ia dan suami mengambil bagian dalam pengasuhan dan memperkuat keterlibatan dengan anak terlebih pada fase transisi saat ini.

Cici menceritakan sebagai orangtua, ia dan suami, mendorong anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara verbal sehingga mereka dapat mengetahui apa yang dirasakan secara emosional. Selain itu ia juga menghubungi guru dan staf terkait lainnya di sekolah untuk memantau cara anaknya mengatasi dan mengikuti tugas atau kegiatan.

Ia dan suami juga berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang untuk mengetahui lebih jauh upaya yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak.

"Kami memahami bahwa fase membangun hubungan baru merupakan sebuah keterampilan. Si Kecil dapat menguasainya dengan dukungan yang tepat, terutama dari keluarga. Melalui interaksi sosial secara tatap muka langsung, ia mampu menumbuhkan rasa kepercayaan baru dan merasakan kenyamanan berada di lingkungan barunya. Dengan begitu, saya yakin bisa tumbuh menjadi anak hebat yang pintar, berani, dan memiliki empati tinggi," jelas Cici.

Baca Juga: