Individu yang mengalami gejala Covid-19 ringan diduga pernah terinfeksi virus korona ringan jenis lain sebelumnya. Sel memori yang tersimpan, mampu melawan korona baru saat terjadi infeksi kembali, sehingga tidak menimbulkan keparahan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), sekitar 80 persen dari mereka yang terinfeksi Covid-19 memiliki gejala ringan. Fenomena ini membuat para ahli terus mencari jawaban mengapa hal itu bisa terjadi, karena disisi lain banyak orang mengalami gejala berat hingga meninggal.
Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti dari Stanford University School of Medicine dan telah dipublikasikan pada jurnal Science Immunology, menemukan mereka yang mengalami gejala ringan sebelumnya pernah mengalami infeksi virus korona dari varian yang tidak ganas.
Sistem kekebalan mereka yang pernah terinfeksi korona musiman itu mampu mengingat pertemuan sebelumnya. Dalam paparannya, peneliti menyebutkan bahwa virus jenis ini hanya memberi dampak sekitar seperempat dari flu biasa dan umumnya terjadi pada anak-anak.
Sel kekebalan yang dihasilkan untuk melawan virus korona jenis tersebut kemudian bergerak dengan cepat melawan SARS-CoV-2. Hasilnya membuat orang yang terinfeksi tahan menghadapi virus atau hanya memiliki gejala ringan.
Profesor mikrobiologi dan imunologi Direktur Institut Kekebalan, Transplantasi dan Infeksi Stanford dan peneliti dari Howard Hughes Medical Institute, Mark Davis, PhD, menuturkan, hasil temuan tersebut berguna dalam memprediksi orang-orang mengembangkan Covid-19 dengan gejala parah.
Davis menjelaskan orang dengan gejala ringan, telah memiliki sel-sel kekebalan dari infeksi virus sebelumnya yang disebut "sel T pembunuh" (killer T cells). Sel ini berada dalam darah dan kelenjar getah bening, dan juga bersarang r di jaringan tubuh lain. Pada mereka yang memiliki gejala berat, hanya memiliki sedikit sel T pembunuh atau artinya sedikit terpapar virus korona penyebab flu biasa.
"Diskusi tentang kekebalan terhadap Covid-19 seringkali berpusat pada antibodi protein yang dapat menempel pada virus sebelum menginfeksi sel yang rentan. Tapi antibodi mudah tertipu," kata Davis.
"Patogen berevolusi dengan cepat dan 'belajar' untuk menyembunyikan fitur penting mereka dari antibodi kita," lanjut kata Davis. "Tapi sel T mengenali patogen dengan cara yang berbeda, dan mereka sulit dibodohi," imbuh dia.
Davis menerangkan, sel manusia mengeluarkan sampel dari setiap protein yang mereka buat menjadi potongan-potongan kecil yang disebut peptida. Selanjutnya peptida itu ditampilkan di permukaan untuk diperiksa oleh sel T.
Ketika reseptor sel T pembunuh melihat peptida pada permukaan sel yang tidak seharusnya ada seperti protein yang diproduksi oleh mikroorganisme penyerang, sel T akan menyerang, dengan cara berkembang biak dengan cepat. Mereka akan menyerang rangkaian peptida yang memiliki indikasi berasal dari mikroba patogen.
Sel memori dari sel T memiliki sensitivitas tinggi dan umur panjang, atau dapat bertahan dalam darah dan getah bening selama beberapa dekade. Mereka akan bereaksi saat berpapasan dengan peptida yang menghasilkan gelombang ekspansi sel T yang melahirkan mereka.
"Banyak orang menjadi sangat sakit atau meninggal karena Covid-19, sementara yang lain berjalan-jalan tanpa mengetahui bahwa mereka mengidapnya (tanpa gejala). Mengapa?" tanya Davis.
Sementara itu, penulis studi tersebut Vamsee Mallajosyula, PhD, pertama kali mengkonfirmasi beberapa bagian dari urutan SARS-CoV-2 secara efektif identik dengan bagian analog dari satu atau lebih dari empat jenis virus korona penyebab flu biasa yang tersebar luas.
Kemudian ia merakit panel dari 24 urutan peptida berbeda unik untuk protein yang dibuat oleh SARS-CoV-2 atau yang juga ditemukan pada protein yang dibuat oleh satu atau lebih galur musiman itu.
Para peneliti menganalisis sampel darah yang diambil dari donor yang sehat sebelum pandemi Covid-19 dimulai. Ini berarti mereka tidak pernah bertemu dengan SARS-CoV-2 sebelumnya meskipun mungkin telah terpapar jenis virus korona penyebab flu biasa. hay/I-1

Baca Juga: